-->
Home » , » Tanam Paksa dan Politik Pintu Terbuka

Tanam Paksa dan Politik Pintu Terbuka



Tanam Paksa dan Politik Pintu Terbuka
Pada permulaan abad XIX, timbul masalah bagi pemerintah Belanda dalam mengatur soal perekonomian bagi tanah jajahannya Indonesia. Persoalannya ialah apakah politik kolonial konservatif (pemerintah menguasai dan menentukan perekonomian itu) ataukah politik kolonial liberal (yang pada hakikatnya tugas pemerintah harus dipisahkan dengan soal perekonomian). Pada garis besarnya, maka sistem monopoli oleh pemerintah itulah yang menang sampai menjelang tahun 1870.

Pada masa VOC, Indonesia telah dijadikan tempat transaksi-transaksi dagang dan daerah yang dapat dikeruk keuntungannya. Segala-galanya untuk kepentingan negeri induknya sendiri dan tidak ada niat untuk kepentingan pembangunan daerah jajahan itu.

Selanjutnya muncullah kemudian sistem pajak tanah (Raffles) tetapi pada dasarnya tidak dapat dijalankan dengan efisien. Suatu cara yang memang paling mudah untuk menjadi uang ialah dengan sistem monopoli. Negeri Belanda yang telah terlibat dalam peperangan-peperangan di Eropa.

Pada masa jayanya Napoleon, mengakibatkan pula besarnya hutang itu. Kas negeri yang rusak harus diperbaiki. Lebih-lebih kesulit-an keuangan itu lebih besar lagi akibat adanya Perang Diponegoro (1825-1830) dan pemisahan diri Belgia dari Negeri Belanda tahun 1930 (dalam Konvensi London, Belgia dengan Belanda disatukan).
Suatu ide yang dianggap baik untuk mendapatkan keuangan dengan segera ialah Cultuur Stelsel, suatu ide yang dicetuskan oleh Van Den Bosch. Walaupun ide ini mendapat kritik dari beberapa pihak, namun akhirnya ide itu dilaksanakan. Van Den Bosch sendiri sebagai pencetus diangkat menjadi kepala pemerintahan di Indonesia untuk melaksanakan ide itu. Terjadilah kemudian sistem pemerasan yang benar-benar sistematis, yang jenis sistemnya adalah VOC tetapi lebih terorganisasi dan rapi.


1.       Tanam Paksa
Istilah yang sebenarnya dari sistem ini ialah Cultuur Stelsel. Bila kita terjemahkan menjadi “sistem tanaman”. Terjemahan bahasa Inggrisnya Culture System atau Cultivation System (G. Mc. T. Kahin). Menurut Clekke lebih baik disalin menjadi System of Gouverment-Controlled Agricultures. Maksudnya ialah diwajibkan kepada rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman-tanaman yang jenisnya telah ditentukan oleh pemerintah. Tanaman-tanaman yang hasilnya dapat dijual di Eropa. Yang mengerjakan dan menyelenggarakan tanaman itu ialah rakyat dengan cara-cara paksa. Paksaan ialah hakikat dari penyelenggaraan sistem itu dengan akibat-akibat hukuman badan bagi yang berani melanggarnya. Karena paksaan itu adalah hakikat dari penyelenggaraan sistem ini, maka ia dinamakan “Tanam Paksa”. Tidak lagi cultuur stelsel tetapi dwang-cultuur. Istilah ini sesuai, dilihat dari kenyataan penyelenggaraan sistem sendiri.

Johanes Van Den Bosch
Johanes Van Den Bosch lahir tahun 1780. Ayahnya seorang dokter. Pada waktu berumur 17 tahun, dia pergi ke Indonesia dengan pangkat Letnan Dua. Pada tahun 1807 telah dapat mencapai pangkat Letnan Kolonel dan menjadi Ajudan Jenderal dari Gubernur Jenderal Wiese. Pada masa Daendels, ia berhenti, kemudian pergi ke negeri Belanda. Di sana ia dapat menduduki jabatan militer yang tinggi. Orang ini sangat menarik perhatian raja Belanda, Willem I, karena bukunya yang ditulisnya berhubungan dengan tanah-tanah jajahan negeri Belanda dengan judul “Ned. bezittingen in azie, Amerika en Afrika, in deszelver, oostand en angelegenheid voordit wijsgeering, staathuishoudkundig en geographicsch beschouwd” (1818).

Tidaklah mengherankan kemudian karena simpati raja kepadanya lalu mendapat kedudukan yang tertinggi di Indonesia. Ketika Van Den Bosch menjalankan pemerintahan (1830-1833) di Indonesia banyak mengalami oposisi, antara lain Markus salah seorang anggota Dewan Hindia. Untuk dapat mengatasi oposisi itu, dia diberi pangkat oleh raja Belanda “Komisaris Jenderal”, ia pun dapat menyingkirkan kaum oposisi. Dengan demikian ia dapat menjalankan rencananya itu tanpa halangan.

Pokok-pokok peraturan Cultuur Stelsel (Tanam Paksa)
Pokok-pokok dari peraturan ini antara lain adalah sebagai berikut:
1)       Akan dibuat dengan rakyat perjanjian tentang pemberian sebagian dari tanah pertaniannya (sawah) untuk ditanami dengan tumbuh-tumbuhan yang berguna untuk pasar Eropa.
2)       Tanah yang diberikannya itu meliputi satu per lima dari semua tanah pertanian suatu desa.
3)       Tenaga yang dipergunakan untuk menanam tumbuh-tumbuhan itu tidak akan melebihi tenaga yang diperlukan untuk menanam padi.
4)       Tanah yang diberikan itu akan diserahkan kepada pemerintah dan jika harganya (yang ditaksir) melebihi ketentuan, maka kelebihannya itu akan diberikan penduduk.
5)       Kegagalan panen ditanggung oleh pemerintah, jika hal itu terjadi bukan karena kesalahan rakyat disebabkan kurang rajin mengerjakannya.
Jika peraturan-peraturan ini dilihat dari aksaranya, maka tidaklah berat benar. Peraturan-peraturan ini membayangkan suatu beban yang agak ringan. Yang penting buat rakyat, bukanlah bunyi peraturan itu, tetapi pelaksanaannya itu sendiri.

Pelaksanaan Tanam Paksa
1)       Perjanjian dengan rakyat mengenai tanah tidak ditepati. Di dalam perjanjian ini yang seharusnya ada unsur sukarela, di dalam pelaksanaannya berlaku paksaan. Letak dan luasnya tanah ditentukan dengan sewenang-wenang oleh penguasa tanpa ada artinya lagi istilah perjanjian itu.
2)       Di dalam perjanjian, luas tanah itu adalah satu perlima dari tanah pertanian. Ternyata kemudian diambilnya sampai meliputi satu per tiga dan malahan sampai terjadi semua tanah desa diambilnya. Mengapa? Karena pemerintah atau penguasa, memerlukan suatu kompleks tanah yang berdampingan dengan tanah lainnya dan dengan demikian akan mudah mengadakan pengawasan, mudah mengadakan pengairan, dan sebagainya.
3)       Landrent (pajak tanah) akhirnya dipungut hampir di seluruh Jawa. Jadi sama sekali tidak cocok dengan teorinya, bahwa tanah itu dibebaskan dari pajak karena menanam tanam-tanaman yang tertentu itu. Sudah bekerja untuk pemerintah, tetapi pajak tanah juga terus dipungutnya.

Untuk menanam tumbuh-tumbuhan itu, tenaga yang dipergunakan tidak akan melebihi tenaga untuk menanam padi. Teorinya demikian, tetapi di dalam praktiknya berlainan. Contoh di dalam praktik, seperti nila, seringkali dikerjakan dalam jangka waktu bulanan dan sering juga tempat mengerjakannya jauh letaknya dari desanya. Makanan membawa sendiri dan tanah pertaniannya sendiri terbengkalai. Juga seperti gula, memerlukan banyak jenis pekerjaan. Dalam teori, rakyat hanya bertugas menanam, tetapi di dalam kenyataannya tugas itu bertambah luas, seperti memotong, mengangkut tebu, membuat bata bata untuk pabrik gula, membuat genteng, dan sebagainya.

Preangerstelsel
Di daerah Priangan (Jawa Barat), sejak masa VOC, sudah ada sejenis “Tanam Paksa” yaitu kopi. Hasil kopi itu harus dijual kepada VOC. Karena hasilnya memang baik, maka tanam paksa kopi ini yang dikerjakan oleh rakyat Priangan dipertahankan terus sampai pada masa Tanam Paksa itu sendiri. Sistem penanaman kopi yang dipaksakan kepada rakyat di Priangan itulah yang dinamakan sistem Priangan (Preangerstelsel), yang hasilnya memang sangat memuaskan bagi VOC, Daendels, Raffles, Ned. India. Ketika Raffles memperkenalkan sistem pajak tanah, maka daerah Priangan dibebaskan dari sistem itu. Setelah berlaku sistem Tanam Paksa, maka tidak ada perubahan hakikat dari kedua sistem itu dan hanya tinggal melanjutkan saja sistem yang lama.


Desa dan Cultuurprocenten
Orang-orang desa berduyun-duyun keluar desanya untuk mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan oleh sistem tanam paksa itu. Pekerjaan-pekerjaan yang ada di desa yang tidak dapat mereka kerjakan itu, kemudian dikerjakan oleh orang-orang desa yang masih ada di desa. Di sini, desa itu bertahan dengan kepribadian gotong royongnya untuk melawan disintegrasi yang diciptakan oleh sistem tanam paksa itu. Ikatan desa justru bertambah kuat keadaannya.

Supaya para pegawai dengan giat berusaha melipatgandakan hasil dari sistem ini, pemerintah menyediakan hadiah-hadiah atau persen bagi mereka yang berjasa dan menunjukkan kegiatannya. Ini dinamakan cultuur-procenten. Hadiah itu, adalah sebagai daya pemikat untuk menambah animo para pegawai dan terciptanya penghasilan yang besar demi keuntungan pemerintah.

Keuntungan Tanam Paksa
Tanam Paksa baru mengecap keuntungan untuk pertama kalinya pada tahun 1834. Untungnya pada tahun itu ialah 3 juta gulden dan pada tahun-tahun berikutnya rata-rata 12 sampai 18 juta gulden. Yang benar-benar juga beruntung ialah kongsi pelayaran NHM yang dahulu hidupnya kembang kempis. Pada masa tanam paksa, kongsi itu mendapatkan monopoli. Dapat dibayangkan betapa besarnya perusahaan itu mendapat keuntungan.

Pabrik-pabrik yang didirikan oleh orang-orang partikelir (Cina) juga dengan cepat dan besar mendapat keuntungan. Kapitalis-kapitalis Belanda sendiri, pada masa permulaannya tidak mau ikut mendirikan pabrik gula. Tetapi, kemudian karena ternyata keuntungan usaha sejenis itu besar sekali, maka mulailah golongan kapitalis Belanda iri hati dibuatnya. Golongan inilah kemudian menjadi unsur yang aktif sekali menentang sistem tanam paksa itu. Keuntungan yang besar itu mengubah pandangan mereka terhadap sistem tersebut.

Kemiskinan dan Kemelaratan
Beban yang diletakkan di punggung rakyat oleh sistem itu berat sekali. Karena itu, kemelaratan yang akibatnya dapat pula membawa kematian dan pemusnahan sebagian penduduk daerah tertentu. Contoh dari bahaya kelaparan yang berat dan mengerikan yang pernah terjadi, ialah di Cirebon (1844), Demak (1848), Gerobogan (1849).
Reaksi Terhadap Tanam Paksa
Reaksi ini datang dari beberapa golongan yang dapat kita golongkan sebagai berikut: Rakyat Indonesia, Kaum Humanis Belanda, dan Kaum Kapitalis Belanda.

1)       Rakyat Indonesia
Rakyat Indonesia yang menderita akibat sistem ini mengadakan perlawanan, walaupun sifatnya sporadis. Pada tahun 1933, perlawanan dan huru-hara terjadi di perkebunan tebu di Pasuruan.
Perlawanan semacam ini sering terjadi di daerah-daerah di Pulau Jawa. Setelah perang Paderi selesai, maka di Sumatera Barat pun dikenakan Tanam Paksa itu dan di sini pun terjadi perlawanan seperti di Pariaman (tahun 1841), di Padang (1844) yang dipimpin oleh kaum ulama. Perlawanan itu hanya dapat dipadamkan dengan susah payah. Malahan di Jawa pada tahun 1846, perlawanan terjadi di kebun tembakau, dengan dibakarnya kebun itu sebanyak 7 buah.

2)       Kaum Humanis Belanda
Eduard Douwes Dekker seorang pamong praja dan sastrawan serta Boron van Hoekel seorang pendeta dan politikus. Tantangan mereka terhadap Tanam Paksa itu berdasarkan prinsip-prinsip etika kemanusiaan. Kemelaratan yang luar biasa yang diakibatkan oleh sistem itu, mereka rasakan sebagai suatu yang tidak berperikemanusiaan dan karena itu sistem itu harus dihapuskan. Eduard Douwes Dekker atau Multatuli memprotes hal itu melalui karangan-karangannya (Max Havelar) dan Baron Van Hoevel memprotes melalui gedung parlemen di negeri Belanda. Mereka adalah perintis-perintis dari politik etika yang kemudian mendapat formulasi yang jelas pada permulaan abad XX. Khusus mengenai Max Havelar dari Douwes Dekker sama halnya atau dapat diperbandingkan dengan buku Uncle Tom Cabin (Pondok Paman Tom) karangan Beecher Stowe di Amerika Serikat. Kedua buku ini sangat berpengaruh dan mengubah banyak pandangan orang mengenai penindasan di negeri masing-masing tersebut.

3)       Kaum Kapitalis Belanda
Kaum kapitalis Belanda dalam pertengahan abad XIX sedang berkembang. Tanah jajahan Indonesia pada waktu itu, tertutup bagi modal partikelir. Monopoli negara yang berupa Tanam Paksa tidak mengizinkan kapital itu bergerak bebas di sini. Kalau diizinkan, maka itu berarti saingan. Tidaklah mengherankan pada saat itu bahwa sasaran perjuangan kaum borjuis-kapitalis ialah menghapus Tanam Paksa.

Atas dasar filsafat liberal, mereka menyerang segala macam kekolotan Tanam Paksa itu. Kapitalisme yang menjadi kekuatan pen-dorong pada zamannya, berhasil mendobrak penghalang-penghalang di tanah jajahan Indonesia, dengan kemenangan yang menentukan baginya berupa Undang-Undang Pokok Agraria Kolonial (1870). Mereka meminta ketentuan yang pasti tentang status tanah di daerah jajahan ini yang dapat dipakai sebagai dasar hukumnya bagi penanaman modal partikelir itu.

1 komentar:

  1. Ketika negara jajahannya sdh merdeka, para penjajahnya malu sendiri, betapa sengsaranya rakyat kita,

    ReplyDelete

Loading...
Loading...