Perkembangan Pers Di Dunia Dan Indonesia _ Kegiatan
jurnalistik pertama yang dikenal dalam sejarah adalah Buletin Berita Acta
Diurna (peristiwa harian) pada masa romawi kuno. Pada abad 1 SM, Julius Caesar
memerintahkan untuk memangpangkan bulletin berita yang ditulis dengan tangan
ini di Forum, Alun alun besar di kota Roma. Buletin berita yang disebarluaskan
kepada masyarakat ditemukan di Cina sekitar tahun 750 M. Abad ke 15,
penyebarluasan berita dengan cepat dan luas dimungkinkan dengan adanya mesin
cetak hasil penemuan, Johannes Gutenberg dari Jerman. Mula mula, surat kabar
hanya terdiri atas satu lembar saja dan seringkali hanya memuat satu peristiwa
saja. Dari bentuk inilah lambat laun surat kabar menjadi bentuknya saat ini.
Jerman, Belanda, dan Inggris
memproduksi surat kabar dan majalah dalam berbagai ukuran pada abad ke 16 dan
17. Jurnal opini menjadi populer di Prancis mulai akhir abad ke 17. Hingga awal
abad ke 18 para politisi mulai menyadari potensi besar surat kabar dalam
membentuk opini public. Konsekuensinya, jurnalisme pada periode ini sangat
bersifat politis, pers dianggap sebagai “suplemen” politik dan setiap partai
politik memiliki surat kabar sendiri. Selama periode ini, muncullah
wartawan-wartawan besar, seperti Daniel Defoe, Jonathan Swift, Joseph Addison,
dan Sir Richard Steele. Pada asat itu juga dimulailah perjuangan panjang
menegakkan kebangsaan pers.
Sejarah pers Indonesia baru dimulai
pada abad ke 20, Ketika Raden Mas Tirto Adhi Soerjo menerbitkan mingguan Soenda Berita pada 17 agustus 1903.
Akibat perselisihan hukum dengan Raden Noto, kawannya sendiri. Tirto terkena hukuman pembuangan ke pulau Bacan (Maluku)
sehingga ia terpaksa menghentikan operasi mingguannya yang sudah berjalan
selama 2 tahun itu. Setelah mejalani hukuman Tirto kembali ke Batavia, bersama
rekan-rekannya, tirto menerbitkan mingguan Medan
Prijaji pada 1 januari 1907. Sebagai penerbit dan pemimpin redaksi, tirto
sering melancarkan kritik terhadap korupsi dan inefisiensi yang dilakukan para
pejabat pemerintahan warga Belanda dan Melayu.
Mingguan dengan ukuran tabloid ini
langsung populer di kalangan priayi yang waktu itu merupakan kelompok
masyarakat terdidik. Melalui kolom “Bagian Politik MP”, Tirto tidak pernah
takut membongkar korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia sering mendesak
pemerintah untuk mendengarkan aspirasi politik warga melayu dan meminta
perluasan kesempatan warga local mendapatkan pendidikan. Hal tersebut membuat
Medan Prijaji menjadi populer sebagai corong kebangkitan nasionalisme pada
waktu itu. Akibat pemberitaannya, Tirto selama bertahun2 berurusan dengan
berbagai tuduhan di meja hijau. Ia pun beberapa kali di penjara karena
tulisannya.
Setelah kemerdekaan, media cetak
yang paling terkenal dengan hasil investigasinya adalah Harian Indonesia Raya .
harian yang dipimpin oleh Mochtar Lubis ini mengengkan kebijaksanaan
pemberitaan yang independen, yang seringkali berbenturan dengan kebijaksanaan
politik pemerintah. Surat kabar ini memberitakan serentetan skandal, konflik,
dan penipuan yang terjadi pada berbagai kementrian serta beberapa perwakilan Indonesia di luar Negeri. Bahkan, pd tahun 1954,
Presiden Soekarno tidak luput dari
serangan pemberitaan investigasi Indonesia
Raya , ketika ia diam diam menikahi Hartini.
Pers Indonesia masa Orde Baru
(1966-1974) sesungguhnya lebih berorientasi ke masyarakat, populistik, kritis,
dan bebas. Upaya mewujudkan kemerdekaan Pers Indonesia cukup panjang dengan
dalam waktu yang lama, Dr. H. Krisna Harahap membagi upaya tersebut dalam lima
periode, yaitu:
·
Era kolonial (sampai dengan 1945)
·
Era demokrasi liberal (1945-1959)
·
Era Demokrasi terpimpin (1959-1966)
·
Era Orde Baru (1966-1998)
·
Era Reformasi (1998-sekarang)
0 komentar:
Post a Comment