-->
Home » » Persiapan dan Pelaksanaan G 30 S-PKI

Persiapan dan Pelaksanaan G 30 S-PKI

Persiapan dan Pelaksanaan Gerakan 30 September 1965 (G 30 S-PKI). Kepercayaan akan kekuatan yang dimiliki oleh PKI di tahun 1965 semakin kuat terlebih dengan keberhasilan Biro Khusus dalam menanamkan pengaruh-nya di dalam tubuh  militer menjadi motivasi utama dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Begitu juga dengan kebijakan Soekarno yang memberikan tekanan kepada pimpinan PNI yang tidak mau bekerja sama dengan PKI dan yang mempunyai teman-teman yang anti PKI di kalangan Angkatan Darat disingkirkan.

Pada bulan Agustus 1965 PKI mengumumkan jumlah anggotanya yang terakhir lebih dari 27 juta rakyat Indonesia (Ricklefs, 1992:424-425). Isu Dewan Jenderal yang akan menggulingkan kekuasaan Soekarno yang akan dilaksanakan pada saat memperingati hari ABRI tanggal 5 Oktober 1965 menjadi wacana penting yang bermuara pada tragedi pembunuhan para perwira tinggi Angkatan Darat. Isu Kabinet Dewan Jenderal tersebut (Dinuth, 1993:3) adalah:

1. Perdana Menteri         : Jendral A.H. Nasution
2. Wakil PM/Menhan    : Letjen A. Yani
3. Mengadri                   : Hadisubono
4. Menlu                        : Roeslan Abdulgani
5. Menhubperdaglu       : Brigjen Sukendro
6. Men/Jaksa Agung     : Mayjen S. Parman
7. Menag                       : K.H. Rusli
8. Men/Pangad              : Mayjen Ibrahim Adjie
9. Men/Pangal            : ?
10. Men/Pangal            : Komodor Rusmin Nuryadin
11. Men/Pangak           : Mayjen Pol Yasin        

Pada saat itu kondisi kesehatan Soekarno sudah mulai menurun, tepatnya sejak tanggal 4 Agustus 1965. Pada saat itu Soekarno sakit muntah-muntah dan pingsan, dan menurut dokter Cina terdapat dua kemungkinan dengan kondisi Soekarno yaitu beliau akan wafat atau akan menjadi lumpuh (Sekretariat Negara RI, 1994:69). Dalam mewujudkan keinginannya, PKI melaksanakan rapat dalam rangka menentukan langkah-langkah yang dianggap tepat. Rapat yang dilaksanakan tersebut adalah:

1. Tanggal 6 September 1965 yang membicarakan mengenai situasi umum dan sakitnya Presiden Soekarno.

2. Tanggal 9 September 1965 membicarakan kesepakatan bersama untuk turut serta dalam mengadakan gerakan dan mengadakan tukar pikiran tentang taktik pelaksanaan gerakan.

3. Tanggal 13 September 1965 tentang peninjauan kesatuan yang ada di Jakarta.

4. Tanggal 15 September 1965, di antaranya membicarakan persoalan kesatua-kesatuan yang akan diajak serta dalam gerakannya.

5. Tanggal 17 September 1965 membicarakan tentang kesatuan yang sudah sanggup dalam  gerakan seperti yang disediakan oleh Kol. Inf. A. Latief, Mayor Udara Sujono, dsb.

6. Tanggal 19 September 1965 yang membahas gerakan-gerakan di bidang politik, militer, dan observasi dengan Sjam ditunjuk sebagai koordinatornya.

7. Tanggal 22 September 1965 penentuan sasaran para perwira tinggi Angkatan Darat.

8. Tanggal 24 September 1965 memantapkan kesanggupan dan kesediaan tenaga-tenaga yang telah ditetapkan sebagai pimpinan pasukan-pasukan yang akan digerakkan.

9. Tanggal 26 September 1965 pemantapan terhadap rapat sebelumnya.

10. Tanggal 29 September 1965 penetapan nama gerakannya yaitu Gerakan 30 September dan putusan perubahan hari H dan jam J yang dibuat oleh Sjam. 

Semula direncanakan pada keesokan harinya tanggal 30 September 1965 pukul 04.00 menjadi tanggal 1 Oktober 1965 menjelang dini hari (Poesponegoro,dkk. 1994:38-39. Lihat juga Sekretariat Negara RI, 1994: 73-77).

Untuk menyukseskan gerakan yang akan dilakukan ini, Letkol Untung menyerukan kepada para perwira, bintara dan tamtama Angkatan Darat di seluruh tanah air supaya bertekad mengkikis habis pengaruh-pengaruh Dewan Jenderal dan kaki tangannya  dalam Angkatan Darat. Dewan Jenderal adalah perwira-perwira yang gila kekuasaan, yang menelantarkan nasib anak buahnya, tetapi di pihak lain mereka selalu hidup berfoya-foya (LSIK,1983:77).

Mereka mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965, didahului dengan gerakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Kesemuanya dibawa ke Desa Lubang Buaya sebelah Selatan pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma. Keenam perwira tinggi tersebut (Poesponegoro,dkk.1994: 390) adalah:

1. Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani;
2. Deputy II Pangad, Mayor Jenderal R.Soeprapto;
3. Deputy III Pangad, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo;
4. Asisten I Pangad, Mayor Jenderal Siswodo Parman;
5. Asisten IV Pangad Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan;
6. Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo, dan
7. Lettu Piere Andreas Tendean.

Wacana yang sering diketengahkan adalah, siapakah dibalik peristiwa tersebut? Benarkah hanya PKI di balik peristiwa tersebut seperti yang divonis oleh Orde Baru?, dan sebagainya. Menurut Anderson dan McVey(2001:226) bahwa apapun kejadiannya hal ini adalah masalah intern Angkatan Darat. Dale Scott (1998) peristiwa ini adalah konspirasi antara Soeharto dengan CIA (Central Intelligence Agency) dalam rangka penggulingan Soekarno.

Dalam buku “Dokumen CIA” (2002:203) bahwa peristiwa G 30 S tahun 1965 adalah wujud konfrontasi antara Soekarno dengan Amerika serikat. Pada saat itu semakin beraninya Partai Komunis Indonesia dan semakin bergantungnya Soekarno kepada partai tersebut, beberapa bentuk non-komunis telah menaikkan bendera bernama “Soekarnoisme”.

Gerakan tersebut seolah-olah membuktikan dirinya untuk membela Pancasila bikinan Presiden, tetapi rupanya tujuan utama mereka adalah menghancurkan pengaruh PKI di dalam pemerintahan dan di seluruh negeri. Menurut Harold Crouch sesuai dengan  pandangan Anderson dan McVey, bahwa di dalam tubuh Angkatan Darat terdapat dua faksi yang sebenarnya sama-sama anti PKI tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Soekarno.

1. Faksi  yang loyal terhadap Soekarno yang dipimpin oleh Mayjen Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Soekarno tentang persatuan nasional, di mana PKI ada di dalamya.

2. Faksi yang bersikap menentang kebijakan A. Yani yang bernafaskan Soekarnoisme yaitu Jenderal Nasution dan Mayejen Soeharto. Wertheim mengatakan bahwa seluruh peristiwa itu adalah direkayasa oleh komplotan tertentu yang bertujuan untuk merusak nama baik PKI dan Presiden Soekarno, sehingga menjadi alasan untuk melenyapkan semua pengaruh mereka di dalam pentas politik Indonesia (dalam ISAI, 1995:17-20).

Terdapat pandangan lain bahwa diketemukannya Dokumen Gilchrist (nama Dubes Inggris untuk Indonesia) membuktikan adanya hubungan khusus antara Inggris dengan Angkatan Darat. Dokumen ini dalam bentuk surat dari Dubes Inggris kepada Sir Harold Cassia, Sekretaris Muda Kementrian Luar Negeri Inggris. Surat ini tertanggal 24 Maret 1965.

Isinya antara lain menyebutkan “Dubes AS Jones pada pokoknya sepakat dengan pendirian kita, tetapi minta waktu untuk mempelajari”. Juga disebut Our Local Army Friends (Soerojo, 1988:161).

Menurut Herbert Feith (2001:26-27) bahwa sejak Demokrasi Terpimpin telah diandaikan sebagai suatu sistem yang dipengaruhi secara kritis terutama sekali oleh hubungan antara Presiden Soekarno dengan Angkatan Darat, suatu hubungan “konflik yang mantap” yang ditandai oleh upaya bersama dan berlangsungnya terus kompetisi dan ketegangan antara dua mitra yang bertanding dengan lebih kurang setaraf.  

0 komentar:

Post a Comment

Loading...
Loading...