Pelawanan Patih Jelantik di Bali (1846-1849)
Perlawanan Patih Jelantik terhadap penjajah Belanda pada
pertengahan abad ke-19 lebih terkenal dengan nama Perang Jagaraga. Tradisi
setempat menyebutkan Perang Jagaraga adalah Perang Puputan, artinya perang habis-habisan.
Satu perang puputan dapat terjadi berdasarkan prinsip
sebagai berikut:
1. Nyawa seorang
ksatria berada di ujung keras atau senjata. Kematian di medan perang menjadi
kehormatan bagi dirinya, sanak keluarganya, dan keturunannya.
2. Di dalam mempertahankan
kehormatan bangsa, negara, dan keluarga tidak mengenal menyerah kepada musuh,
walaupun bagaimana kuatnya musuh itu. Sebab, menyerah kepada musuh adalah nirdon
atau sampah masyarakat (tidak berguna).
3. Menurut ajaran
agama Hindu, seseorang yang mati dalam peperangan, roh orang yang bersangkutan
masuk ke sorgaloka tanpa dihitung lebih dahulu mengenai kebaikan dan keburukan
selama hidupnya di dunia ini.
4. Perang puputan
bukanlah berarti bunuh diri, sebab bagi pemeluk agama Hindu orang bunuh diri,
rohnya tidak masuk ke sorgaloka. Rohnya akan menjadi penghuni Pretaloka
atau dunia roh gentayangan. Orang yang demikian adalah pengecut dalam
menghadapi karmanya.
Di samping prinsip perang puputan, dalam masyarakat Bali
terdapat pula kebiasaan, yang disebut hak tawan karang. Hak tawan
karang adalah hak raja yang dilimpahkan kepada desa untuk menawan perahu
dan lain-lainnya yang terdampar.
Perihal hak tawan karang ini sudah pernah
diselesaikan antara rakyat Buleleng dan Belanda. Dari pihak kerajaan Buleleng
diwakili oleh raja sendiri, I Gusti Ngurah Made Karangasem. Patih I Gusti Ketut
Jelantik beserta seorang Brahmana Ida Bagus Tamu. Sedangkan dari pihak Belanda
diwakili oleh HJ Huskus Koopman. Perjanjian yang tahun 1843 pada prinsipnya
berisi kerja sama antara pihak kerajaan Buleleng dan Belanda serta memberikan
bantuan kepada pihak Belanda jika ada kapalnya yang terdampar di pantai-pantai
wilayah kekuasaan kerajaan Buleleng.
Perjanjian ini ternyata tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Pada tahun 1844 di pantai Prancak (pantai Bali Barat) dan Sangsit
(pantai Buleleng bagian Timur) terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda
yang terdampar. Timbul percekcokan antara Buleleng dengan Belanda. Belanda
menuntut agar kerajaan Buleleng melaksanakan perjanjian 1843, yakni melepaskan hak
tawan karang. Tuntutan Belanda tidak diindahkan oleh raja Buleleng I Gusti
Ngurah Made Karangasem. Belanda menggunakan dalih kejadian ini dan menyerang
kerajaan Buleleng. Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan
meriam dari pantai. Belanda mendaratkan pasukannya di pantai Buleleng.
Perlawanan sengit dari pihak kerajaan Buleleng dapat menghambat majunya laskar
Belanda. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Akhirnya Belanda berhasil
menduduki satu-persatu daerah-daerah sekitar istana raja (Banjar Bali, Banjar
Jawa, Banjar Penataran, Banjar Delodpeken), Istana raja telah terkurung rapat,
I Gusti Made Karangasem menghadapi situasi ini kemudian mengambil siasat
pura-pura menyerah dan tunduk kepada Belanda.
I Gusti Ketut Jelantik, patih kerajaan Buleleng
melanjutkan perlawanan. Pusat perlawanan ditempatkannya di wilayah Buleleng
Timur, yakni di sebuah desa yang bernama desa Jagaraga. Secara geografis desa
ini berada pada tempat ketinggian, di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di
kanan kirinya. Desa Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan benteng
berbentuk “supit urang”. Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat
dari bambu (bahasa Bali: sungga) untuk menghambat gerakan musuh. Benteng ini berkumpul
tidak saja laskar Buleleng, tetapi juga laskar dari kerajaan-kerajaan lain di
Bali, seperti Karangasem: 1200 orang, Mengwi: 600 orang, Gianyar dan
Kelungkung: 1650 orang. Benteng Jagaraga dipertahankan 15.000 orang, dengan
2000 orang bersenjata senapan api dan sisanya bersenjatakan tombak.
Kesibukan yang terjadi di Jagaraga dilaporkan ke Batavia
oleh Belanda. Pada tanggal 7 Maret 1848, kapal perang Belanda yang dikirimkan
ke Batavia tiba di pantai Sangsit, dengan kekuatan 2265 serdadu (870 serdadu
Eropa, 119 orang Afrika, dan 1385 bumiputera). Serangan pertama ditujukan ke
Sangsit dan Bunkulan di bawah pimpinan Mayor Jenderal Van der Wijck. Serangan
kedua ditujukan langsung ke benteng Jagaraga tanggal 8 Juni 1848. Serangan ini
gagal, karena Belanda belum mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat
pertahanan “supit urang” laskar Jagaraga. Belanda mundur sampai ke pantai
Sangsit dan minta tambahan serdadu dari Batavia. Batavia menolak permintaan Van
der Wijck dengan alasan tenaga sangat terbatas. Oleh karena itu Van der Wijck
memutuskan untuk kembali ke Batavia bersama sisa laskarnya. I Gusti Ketut
Jelantik bersama seluruh laskarnya setelah memperoleh kemenangan, bertekat
untuk mempertahankan benteng Jagaraga sampai titik darah penghabisan demi kehormatan
kerajaan Buleleng dan rakyat Bali seluruhnya.
Rupanya Jenderal Michiels dapat menginsyafkan
pemerintahnya akan pentingnya menguasai pulau Bali. Pada tanggal 15 April 1849,
Jenderal Michiels bersama tentaranya mendarat di pantai Sangsit. Pasukannya berjumlah
15.235 orang, yang terdiri atas pasukan infantri, kavaleri, artileri, zeni, dan
kesehatan. Di samping itu terdapat 29 kapal laut. Pantai Buleleng dan Sangsit
benar-benar telah terkepung. Pengerahan pasukan demikian besarnya menunjukkan
Bali memang penting di mata Belanda. Michiels akhirnya mengetahui siasat
pertahanan “supit urang” dari mata-mata yang dikirimkannya ke benteng Jagaraga.
Setelah mengatur persiapan, mereka langsung menyerang benteng Jagaraga. Mereka
menyerang dari dua arah, yaitu dari arah depan dan dari arah belakang benteng
Jagaraga. Pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi, terutama pada posisi di
mana I Gusti Ketut Jelantik berada. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam
dengan gencar. Korban telah berjatuhan di pihak Buleleng. Kendatipun demikian,
tidak ada seorang pun laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka
semuanya gugur dan pada tanggal 19 April 1849 benteng Jagaraga jatuh ke tangan
Belanda. Mulai saat itulah Belanda menguasai Bali Utara.
0 komentar:
Post a Comment