Orde Baru: Perkembangan Dalam Bidang Sosial-Budaya
Masa Orde Baru diakui telah banyak mencapai kemajuan dalam proses untuk mewujudkan cita-cita nasional. Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat dapat digambarkan dari berbagai sisi. Selama dasawarsa 1970-an laju per-tumbuhan penduduk mencapai 2,3% setiap tahun. Dalam tahun awal 1990-an angka tadi dapat diturunkan menjadi sekitar 1,6% setiap tahun.
Jika awal tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai harapan hidup rata-rata sekitar 50 tahun maka pada tahun 1990-an harapan hidup lebih dari 61 tahun. Dalam kurun waktu yang sama angka kematian bayi menurun dari 142 untuk setiap 1000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1000 kelahiran hidup. Hal ini antara lain dimungkinkan makin meningkatnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat misalnya adanya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu sampai di tingkat desa atau RT.
Apabila kemajuan di bidang-bidang kesejahteraan yang pokok telah jelas memperkokoh lestarinya keterikatan rakyat pada negara Indonesia secara umum, maka pendidikan dan media umum juga telah mengakibatkan hal yang sama secara lebih langsung. Penyediaan pendidikan terus meningkat sampai tingkat yang jauh melebihi penyediaan pendidikan di masa kolonial. Ini tercermin dalam pertumbuhan penduduk yang buta huruf.
Pada tahun 1930 jumlah penduduk dewasa yang melek huruf hanyalah 13% untuk pria dan 2,3% untuk wanita. Pada tahun 1961 angkanya menjadi 59,8% untuk pria dan 34,1% untuk wanita. Pada tahun 1971 angkanya 72,0% untuk pria dan 50,3% untuk wanita, tahun 1980 angkanya 80,4% untuk pria dan 63,6% untuk wanita. Begitu juga kemampuan masyarakat menggunakan bahasa nasional yaitu 40% tahun 1971 menjadi 61,4% tahun 1980. Tentu ini berpengaruh juga terhadap perkembangan surat-surat kabar, serta majalah-majalah, bahkan mungkin radio dan televisi (Ricklefs, 1992:434-435).
Dalam himpunan Tap MPR Tahun 1993 (1993:173) di bidang pendidikan, fasilitas pendidikan dasar sudah makin merata. Pada tahun 1968 fasilitas sekolah dasar yang ada hanya dapat menampung sekitar 41% dari seluruh anak yang berusia Sekolah Dasar. Fasilitas Sekolah Dasar yang telah dibangun di pelosok tanah air praktis mampu menampung anak Indonesia yang berusia sekolah dasar. Kondisi ini merupakan landasan kuat menuju pelaksanaan wajib belajar 9 tahun di tahun-tahun yang akan datang. Sementara itu, jumlah rakyat yang masih buta huruf telah menurun dari 39% dalam tahun 1971 menjadi sekitar 17% di tahun1990-an.
Dampak dari pemerataan pendidikan juga terlihat dari meningkatnya tingkat pendidikan angkatan kerja. Dalam tahun 1971 hampir 43% dari seluruh angkatan kerja tidak atau belum pernah sekolah. Pada tahun 1990-an jumlah yang tidak atau belum pernah sekolah menurun menjadi sekitar 17%. Dalam kurun waktu yang sama angkatan kerja yang berpendidikan SMTA ke atas meningkat dari 2,8% dari seluruh angkatan kerja menjadi hampir 15%. Peningkatan mutu angkatan kerja akan mempunyai dampak yang luas bagi laju pembangunan di waktu yang akan datang (Subagyo, tanpa tahun:41-42).
Pada waktu yang sama juga terjadi suatu gelombang perubahan yang luar biasa dalam bidang agama di dalam masyarakat. Agama Hindu dan Budha berkembang walaupun pemeluknya tetap kecil. Kaum muslim lebih terperanjat dengan perkembangan kelompok-kelompok mistik asli (kebatinan) dan agama Kristen yang cepat. Pada tahun 1933 hanya 2,8% rakyat Indonesia yang memeluk agama Kristen. Pada tahun 1971 menjadi 7,4% dan pada tahun 1980 tercatat 8,8%. Perkembangan hubungan antaragama semakin kondusif.
Di tahun 1960-an hubungan antaragama kurang harmonis, tetapi di tahun 1970-an dan1980-an meningkatnya rasa toleransi antarpemeluk agama. Karena itu Indonesia dikatakan sebagai contoh bagi negara-negara lain dalam hal toleransi antaragama. Para pemimpin agama seringkali bahu-membahu dalam segala aktivitas kemasyarakat-an, karena itu organisasi-organisasi keagamaan memberikan prioritas yang tinggi kepada proyek-proyek pembanguna sosial dan ekonomi. Karena mereka memahami dakwah dalam arti yang luas, bukan hanya sekedar mendapatkan pengikut yang baru belaka (Ricklefs, 1992: 436)
Kebhinekaan Indonesia dari berbagai hal (suku, agama, ras, budaya, antargolongan dsb.) yang mempunyai peluang yang tinggi akan terjadinya konflik, maka masa Orde Baru memunculkan kebijakan yang terkait dengan pemahaman dan pengamalan terhadap dasar negara Pancasila. Berdasarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 ditetapkan tentang P-4 yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Parasetia Pancakarsa). Dengan Pancasila akan dapat memberikan kekuatan, jiwa kepada bangsa Indonesia serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir dan batin yang makin baik menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan penghayatan terhadap Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan terwujudlah Pancasila dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Karena itulah diperlukan suatu pedoman yang dapat menjadi penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap orang Indonesia (BP-7, 1995:29). Untuk melaksanakan semua ini dilakukanlah penataran-penataran baik melalui cara-cara formal, maupun non-formal sehingga di tradisikan sebagai gerakan Budaya.
0 komentar:
Post a Comment