AKIBAT KOLONIALISME DAN IMPERIALISME Dalam Bidang Ekonomi Sosial Dan Budaya
Masuknya kekuasaan Barat ke Indonesia telah membawa
perubahan dan bahkan kegoncangan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Semenjak
awal abad ke-19 penguasa Belanda mulai mengadakan pembaharuan politik kolonial.
Selain pembaharuan dalam politik pemerintahan, pemerintah Belanda juga mulai
mempraktikan sistem ekonomi baru. Akibat dari tindakan pemerintah itu timbul
perubahan tata kehidupan di kalangan rakyat Indonesia. Tindakan pemerintah
Belanda untuk menghapus kedudukan menurut adat penguasa pribumi dan menjadikan
mereka pegawai pemerintah, meruntuhkan kewibawaan tradisional penguasa pribumi.
Kedudukan mereka menjadi merosot.
Secara administratif para bupati atau penguasa pribumi
lainnya adalah pegawai pemerintah Belanda yang ditempatkan di bawah pengawasan
pemerintah kolonial. Hubungan rakyat dengan para bupati terbatas pada soal
administratif dan pungutan pajak. Hak-hak yang diberikan oleh adat telah
hilang. Pemilikan tanah lungguh atau tanah jabatan dihapus dan diganti dengan
gaji. Upacara dan tatacara yang berlaku di istana kerajaan juga disederhanakan.
Dengan demikian ikatan tradisi dalam kehidupan pribumi menjadi lemah.
Dengan masuknya sistem ekonomi-uang, maka beban rakyat
bertambah berat. Ekonomi-uang memudahkan bagi pelaksana pemungutan pajak,
peningkatan perdagangan hasil bumi, lahirnya buruh upahan, masalah tanah dan
penggarapan-nya. Sistem penyewaan tanah, dan praktik-praktik kerja paksa juga
telah memper-berat kehidupan penduduk pedesaan. Sementara itu kesejahteraan
hidup semakin merosot sehingga mencapai tingkat kemiskinan yang tinggi.
Praktik-praktik pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa dalam
menjalankan pemungutan pajak, kerja paksa, penyewaan tanah dan
penyelewengan-penyelewengan lainnya, telah menjadikan rakyat di pedesaan
menjadi lemah. Mereka tidak memiliki tempat berlindung dan tempat untuk
mengatakan keberatan-keberatan yang dirasakan.
Gerakan Ratu Adil dan Gerakan Keagamaan
Gerakan Ratu Adil- Ada juga gerakan rakyat yang timbul atas kepercayaan
bahwa seorang tokoh akan datang untuk membebaskan orang dari segala penderitaan
dan kesengsaraan. Tokoh itu digambarkan sebagai seorang Raja Adil atau Imam
Mahdi. Zaman keemasan yang penuh keadilan dan kemakmuran segera akan datang
bila tokoh tersebut telah tiba di tengah-tengah mereka. Tokoh-tokoh pemimpin
dari gerakan itu bisanya muncul dari seorang yang mengaku menerima panggilan
sebagai pemimpin agama, nabi, atau juru selamat. Tokoh-tokoh semacam itu
memperoleh kepercayaan pengikutnya adalah soal-soal yang bersifat gaib dan
soal-soal yang berhubungan dengan ramalan akan datangnya hari akhir atau zaman
keemasan.
Pada pokoknya orang-orang yang menjadi pengikut gerakan
itu memiliki kehendak untuk mengubah keadaan buruk yang sedang mereka alami.
Biasanya keadaan yang dialami itu digambarkan sebagai keadaan yang serba jelek,
tidak ada keadilan, penuh penderitaan, banyak penyelewengan, dan kemiskinan.
Oleh karenanya mereka menghendaki keadaan yang serba jelek itu dimusnahkan dan
diganti dengan keadaan yang penuh keadilan dan kemakmuran, tidak adanya
pemerasan dan penindasan. Karena sifatnya hendak mengandalkan perubahan, maka
tidak jarang tindakan-tindakan pengikut gerakan itu sangat radikal.
Harapan-harapan itu sering diikuti oleh keadaan baru
dalam kehidupan keagamaan. Bersamaan dengan itu timbul pula impian-impian akan
kembalinya tata kehidupan yang pernah berlaku pada zaman-zaman lampau. Mereka
merindukan akan berdirinya kembali kerajaan-kerajaan Majapahit, Mataram, dan
lainnya yang digambarkan sebagai masa keemasan. Mitos-mitos lama hidup kembali,
dan diperkuat dengan ramalan-ramalan tentang akan kembalinya zaman yang bahagia
itu pada masa yang akan datang. Dalam harapan itu tersalur rasa dendam rakyat
terhadap penguasa asing yang dianggap sebagai penyebab kejelekan kehidupan
mereka. Hal ini menyebabkan gerakan Ratu Adil sering memusuhi orang asing dan
berusaha mengusir pemerintah asing.
Sementara itu pengaruh lingkungan kehidupan Islam pada
rakyat pedesaan cukup besar. Pengaruh itu terutama dalam mengadakan reaksi
terhadap pemerintah Belanda. Sikap permusuhan terhadap penguasa asing sering
dilakukan dengan cara kekerasan, yaitu dalam bentuk pemberontakan melawan
kekuasaan. Api semangat Islam semakin berkobar semenjak abad ke-19, yaitu
sewaktu pengaruh Barat makin mendalam. Panggilan untuk meng-hidupkan kembali
kehidupan agama sering menjadi alat yang baik untuk mempersatukan rakyat.
Melalui ajaran agama menentang pemerintah Belanda dapat dikorbankan.
Kekuatan-kekuatan yang terhimpun dalam lingkungan Muslimin ini terutama
terpusat pada ajaran jihad atau perang sabil, dan terbina dalam pesantren-pesantren,
serta ajaran-ajaran tarekat. Sementara itu para kiai menjadi tokoh-tokoh pemimpin
yang ampuh dalam menggerakkan pengikutnya.
Dalam keadaan yang demikian itu pesantren bukan hanya
sebagai pusat pendidikan agama saja, tetapi juga sebagai tempat pendidikan
kader pemimpin agama. Pesantren tersebar di seluruh Jawa semenjak abad ke-19.
Tidak sedikit para pemimpin agama merasa terpanggil untuk memimpin perlawanan
terhadap pengaruh perluasan Barat yang semakin mendalam. Lembaga pesantren
digerakkan untuk menentang pengaruh Belanda yang merembes sampai ke pedesaan.
Perlawanan kaum Muslimin terhadap pemerintah kolonial didasarkan pada faktor
politik dan agama. Pertama, kaum Muslimin menolak pemerintahan kaum
kafir. Kedua, kedudukan mereka terancam oleh kekuasaan Belanda. Oleh
karena itu rasa kebencian yang dilancarkan itu tidak hanya tertuju pada
orang-orang Belanda, tetapi juga kepada para pegawai yang bekerja untuk
pemerintah Belanda. Di bawah pengaruh para pemimpin agama beserta
pesantren-pesantrennya serta ajaran agamanya rakyat pedesaan Islam dipersatukan
untuk melawan.
Pada awal tahun 1903 terjadilah pemberontakan di
kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur), yang dipimpin oleh seorang kiai yang bernama
Kasan Mukmin. Kasan Mukmin mengaku sebagai orang yang telah menerima wahyu dari
Yang Maha Kuasa, untuk memimpin rakyat di lingkungannya. Ia juga mengaku
sebagai penjelmaan dari Imam Mahdi. Menurut pengakuannya ia akan mendirikan
sebuah kerajaan baru di Jawa. Dalam khotbah-khotbahnya dia menarik untuk
melakukan perang jihad melawan pemerintah Belanda. Dengan melalui ajaran-ajaran
itu ia mengumpulkan para pengikutnya untuk merencanakan penyerangan terhadap
pemerintah. Setelah pihak pemerintah mendengar desas-desus akan terjadinya
pemberontakan, maka segera dikirimkan pasukan untuk mencegah-nya. Kedatangan
pasukan pemerintah ke tempat pemberontakan disambut dengan serangan sengit
dengan menggunakan senjata tajam. Dalam pertempuran tersebut residen Belanda
menderita luka-luka. Sejumlah 40 orang mati terbunuh dan 20 orang lainnya
luka-luka. Sementara itu sebagian para pemberontak tertangkap. Pemimpin pemberontak
itu sendiri mati terbunuh dalam pertempuran tersebut. Kerusuhan padam setelah
peristiwa tersebut.
Pemberontakan itu ternyata memiliki latar belakang yang
luas, di antara-nya ialah pelampiasan rasa dendam dan ketidakpuasan rakyat
terhadap penguasa. Alasan itu terutama karena banyaknya penyelewengan dalam
masalah penyewaan tanah untuk perkebunan tebu, berbagai pengerahan buruh, serta
penarikan pajak yang berat.
Di desa Bendungan wilayah Karesidenan Kediri pada tahun
1907 juga meletus pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh Dermojoyo. Dalam
gerakan itu Dermojoyo juga mengaku dirinya telah mendapat wahyu untuk menjadi
seorang Ratu Adil. Diceritakan bahwa menurut dia para pengikutnya harus
bersedia untuk melakukan perjuangan melawan musuh. Pengikutnya dikatakan akan
mengalami kemenangan besar. Dengan melalui ajaran-ajarannya ia dapat
mengumpulkan sejumlah pengikut untuk melakukan pemberontakan. Mereka
berkeyakinan bahwa dalam perang itu pengikutnya tidak akan kalah karena adanya
kesaktian yang dibawa pemimpinnya yang bisa menghidupkan orang yang telah
meninggal. Setelah mendapat banyak pengikut maka Dermojoyo merencanakan untuk
melancarkan serangan terhadap pemerintah. Suasana menjadi panas ketika tersebar
berita akan terjadinya pemberontakan tersebut. Pihak pemerintah segera
menyiapkan pasukan untuk menumpas gerakan yang ada di daerah tersebut. Pada
waktu bantuan militer yang datang dari Surabaya sampai di tempat pengikut
Dermojoyo, maka berkobarlah pertempuran yang sengit. Pergulatan demikian
serunya hingga 18 orang meninggal, 9 luka-luka, dan 49 orang lagi ditawan.
Dermojoyo sendiri tewas beserta anaknya dalam perkelahian yang sengit.
Selain kerusuhan-kerusuhan tersebut masih banyak lagi
peristiwa-peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat di bawah gerakan
Ratu Adil.
Gerakan Keagamaan- Selain dua jenis gerakan rakyat seperti yang tersebut di
atas, masih ada lagi gerakan-gerakan yang dilancarkan oleh rakyat pedesaan yang
tergabung dalam kelompok-kelompok aliran-aliran agama. Tidak berbeda dengan gerakan
yang terdahulu, gerakan rakyat yang terakhir ini juga timbul sebagai akibat
dari rasa ketidakpuasan dan kebencian terhadap keadaan kehidupan pada masa itu.
Kelompok ini juga menghendaki perubahan keadaan yang jelek dan tata kehidupan
yang sedang dialami. Ketidakpuasan itu dinyatakan dalam sikap memberontak
terhadap keadaan yang tidak disenangi itu. Mereka umumnya benci terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan kehidupan rakyat. Selain itu
mereka juga benci dan menentang terjadinya kemerosotan moral yang terjadi
sebagai akibat perkembangan budaya Barat. Masuknya budaya Barat yang diikuti
oleh kemerosotan moral menimbulkan kekeruhan dan kekacauan.
Golongan penganut aliran keagamaan itu memandang
pemerintah kolonial dan para pengikutnya sebagai lawannya. Mereka menentang
kekuasaan yang telah mengekang kehidupannya. Kebencian terhadap Belanda dan
para priyayi tertanam dalam hati rakyat penganut aliran ini.
Di antara gerakan-gerakan itu ada yang lebih menekankan
usaha untuk menggiatkan kembali kehidupan keagamaan dengan cara yang ketat.
Gerakan semacam itu dapat digolongkan sebagai “gerakan pemurnian”. Kaum pemurni
ini juga berusaha untuk memperkuat kembali tata hidup yang telah berlaku bagi
rakyat semenjak masa lampau. Dengan melalui ajakan yang demikian itu para kiai
dan haji di daerah pedesaan berhasil membakar semangat rakyat petani untuk
menjalankan seruan itu. Kebanyakan gerakan semacam ini terwujud dalam
perkumpulan-perkumpulan tarekat yang banyak dianut oleh petani Islam di
pedesaan. Ada juga gerakan lain yang bersifat setengah Islam atau bukan Islam.
Apa yang sesungguhnya diidamkan oleh gerakan keagamaan
ini adalah suatu kehidupan dunia yang penuh kebahagiaan dan ketentraman.
Keadaan itu dapat berwujud sebagai suatu kerajaan yang akan diperintah secara
adil, damai, dan penuh kebahagiaan, serta dalam bentuk masyarakat agama yang
murni yang tidak boleh dikotori oleh orang kafir. Selain itu mereka
menggambarkan keadaan itu bebas dari kelompok-kelompok yang menindas. Oleh
sebab itulah arah tujuannya adalah mengadakan perubahan atau penggantian dalam
lingkungan kehidupan mereka.
Gerakan pemurnian di lingkungan pemeluk agama Islam,
bersifat keras dalam usaha menentang kekendoran dalam menjalankan ajaran agama.
Gerakan ini sekaligus menganjurkan untuk melakukan ibadat agama secara ketat
kepada para pengikutnya. Kebenciannya terhadap penguasa asing dari pengikut
gerakan ini sekaligus tertuju kepada agama yang dianut oleh penguasa asing.
Biasanya di antara pemimpin dan anggotanya terdapat hubungan yang kuat. Ikatan
persatuannya sangat kuat karena diikat oleh sumpah-sumpah prasetya pada
ajarannya. Selain itu hubungan dan ajarannya sering bersifat rahasia. Mereka
mengikat tali persaudaraan di antara anggotanya seperguruan-nya. Sering mereka
memandang dunia kehidupan di luar kelompoknya sebagai kehidupan yang telah
rusak.
Salah satu contoh dari gerakan golongan keagamaan semacam
itu ialah gerakan yang dipimpin oleh Haji Mohamad Rifangi di desa Kalisalak
daerah karesidenan Pekalongan. Aliran yang dipimpinnya itu disebut Budiah.
Budiah ini merupakan suatu aliran ajaran pemurnian Islam. Menurut Kiai Haji
Mohamad Rifangi, gerakannya itu ditujukan untuk melakukan perlawanan terhadap
kebobrokan agama yang telah meresap di lingkungan rakyat Islam di Jawa pada abad
ke-19. Gerakan itu lahir pada sekitar tahun 1850-an. Tujuan dari gerakan itu
ialah untuk mengadakan pembaharuan Islam dengan jalan kembali kepada ajaran
agama yang murni.
Pengikut dari gerakan ini tersebar di daerah karesidenan Kedu
dan Pekalongan. Menurut pandangan pemimpin Budiah, kehidupan agama di kalangan
rakyat, dan juga di kalangan pemimpin-pemimpin-nya, telah menyimpang dari
petunjuk-petunjuk Tuhan. Ditegaskan pula bahwa banyak penguasa negara,
bupati-bupati, camat-camat, dan kepala desa telah berdoa. Demikian pula para
penghulu banyak yang bodoh dan melanggar kebenaran hukum dan amalan agama.
Banyak pula orang-orang yang telah mengabaikan kaidah agama dan tunduk kepada
kebiasaan kafir. Oleh sebab itulah, mereka harus disadarkan dan dituntun kembali
ke arah jalan yang benar. Pemuka Budiah ini juga menentang kepada kebiasaan
yang banyak dilakukan oleh orang-orang di pedesaan, seperti: kebiasaan
menanggap wayang dan menabuh gamelan, pertemuan-pertemuan yang membolehkan pria
dan wanita duduk bersama, wanita bepergian tanpa kerudung kepala, dan
lain-lain.
Karena Haji Rifangi menganggap pemimpin-pemimpin masyarakat telah bobrok, maka menurut dia rakyat tidak perlu mengikuti penguasa atau kepala desa setempat. Para kiai dan guru agama yang bekerja untuk pemerintahan Belanda dikutuk dan disebut kafir.
Rakyat hanya dianjutkan agar setiap kepada pemimpin yang
benar-benar sebagai khalifah dari Nabi yang suci. Para pengikutnya dianjurkan
untuk menjalankan ajaran dan rukun agama yang ketat. Akibat dari ajaran-ajaran yang radikal semacam itu maka
timbullah pertentangan antara pihak pengikut Budiah dengan kelompok rakyat
lainnya. Tetapi pertentangan ini yang lebih tajam ialah antara golongan itu
dengan pihak pejabat pemerintah. Dengan tersiarnya berita tentang adanya usaha
Haji Rifangi akan memberontak, maka akhirnya pemerintah menindas gerakan itu.
Haji Rifangi ditangkap dan kemudian dibuang ke daerah luar Jawa. Pemerintah
pada waktu itu telah khawatir kalau-kalau gerakan itu akan menimbulkan pem-berontakan.
Lebih-lebih mengingat ajaran-ajaran yang disampaikan oleh pemimpinnya cukup
mengobarkan semangat perlawanan dan kebencian terhadap pihak yang berkuasa.
Setelah pemuka gerakan Budiah dibuang, gerakan itu
tidaklah hilang tetapi masih hidup, sekalipun secara rahasia dan malahan masih
dapat hidup sampai abad ke-20. Gerakan-gerakan lainnya yang sejenis juga pernah
terjadi di daerah lain di Jawa. Gerakan-gerakan itu semuanya menunjukkan suatu
pencerminan dari perasaan melawan dan menentang serta protes rakyat di pedesaan
terhadap pengaruh kekuasaan Belanda.
0 komentar:
Post a Comment