JARINGAN
PERDAGANGAN DAN PELAYARAN KUNO DI INDONESIA - Sistem Pelayaran dan Perdagangan di Nusantara
Sistem Angin dan Manfaatnya bagi Pelayaran Antarpulau di Wilayah Nusantara
Sejak zaman dahulu nenek moyang kita terkenal sebagai pelaut ulung. Nenek moyang
kita mampu mengarungi lautan yang sangat luas sampai di Pantai Utara Australia
dan ke Pulau Madagaskar di Pantai Timur Benua Afrika. Untuk bisa mengarungi
samudra yang luas, tentunya nenek moyang kita mengetahui tentang seluk beluk
pelayaran di antaranya adalah pengetahuan tentang angin. Para pelaut kita pada
zaman dulu sudah mengetahui manfaat angin bagi pelayaran. Setidaknya nelayan di
desa pantai kita mengenal angin darat dan angin laut, sekedar untuk kepentingan
berlayar ke laut dan pulang ke darat. Mereka berlayar ke laut menggunakan angin
darat dan ketika pulang menggunakan angin laut. Para pelaut kita berlayar
dengan kapal antarpulau dan antarnegara juga menggunakan angin musim.
Wilayah Nusantara dilalui dua angin pasat. Di sebelah utara garis
khatulistiwa berhembus angin pasat tenggara. Keadaan demikian berlangsung
sepanjang tahun. Akan tetapi karena peredaran bumi mengitari matahari maka di
wilayah Nusantara angin pasat itu berubah arah. Angin pasat timur laut waktu
melintas garis khatulistiwa berubah arah menjadi angin barat laut. Sedangkan
angin pasat tenggara waktu melintasi garis khatulistiwa berubah menjadi angin
barat daya. Lagi pula wilayah Indonesia terletak di antara Benua Asia dan Benua
Australia mempunyai pengaruh besar pada berhembusnya angin. Iklim panas salah
satu benua akan membawa perubahan pada arah angin. Apabila di Benua Asia
terjadi musim panas maka tekanan udara di utara menjadi minimum (rendah). Angin
berhembus dari Australia ke Benua Asia yang arahnya ke barat. Sementara itu,
apabila di Australia terjadi musim panas maka angin dari Benua Wilayah Nusantara
dilalui dua angin pasat.
Di sebelah utara garis khatulistiwa berhembus angin pasat tenggara. Keadaan
demikian berlangsung sepanjang tahun. Akan tetapi karena peredaran bumi
mengitari matahari maka di wilayah Nusantara angin pasat itu berubah arah.
Angin pasat timur laut waktu melintas garis khatulistiwa berubah arah menjadi
angin barat laut. Sedangkan angin pasat tenggara waktu melintasi garis
khatulistiwa berubah menjadi angin barat daya. Lagi pula wilayah Indonesia
terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia mempunyai pengaruh besar pada
berhembusnya angin.
Iklim panas salah satu benua akan membawa perubahan pada arah angin.
Apabila di Benua Asia terjadi musim panas maka tekanan udara di utara menjadi
minimum (rendah). Angin berhembus dari Australia ke Benua Asia yang arahnya ke
barat. Sementara itu, apabila di Australia terjadi musim panas maka angin dari
Benua asia bergerak ke timur
menuju Australia. Oleh karena itu, wilayah Indonesia dilalui dua angin musim
yang setiap setengah tahun berubah arah. Pada bulan Oktober-April berhembus
angin musim barat, sedangkan bulan April-Oktober berhembus angin musim timur.
Para pelaut
kita sudah mengenal dua angin musim tersebut dan memanfaatkannya untuk
pelayaran. Para pelaut yang berangkat dari Maluku telah menggunakan angin musim
timur untuk berlayar menuju pusat-pusat perdagangan bagian barat, misalnya
Ujungpandang, Gresik, Demak, Banten sampai Malaka. Sebaliknya, kapal-kapal dari
barat yang berlayar menuju ke wilayah timur menggunakan angin musim barat.
Pada bulan
Juni-Agustus kapal berlayar ke Ayuthia dan Cina sedangkan pada bulan
September-Desember angin balik berhembus ke selatan. Rupanya pelaut-pelaut kita
lebih banyak dan lebih dulu mengenal jalan laut ke barat (India) daripada ke
utara (Cina). Akan tetapi dalam perkembangannya kapal-kapal kita juga biasa
berlayar ke negeri Cina. Di Malaka kapal-kapal berdatangan dan menunggu angin
yang baik untuk meneruskan pelayaran atau kembali ke negerinya.
Teknik Pelayaran
Teknik pelayaran di Nusantara pada zaman dahulu belum berkembang seperti
teknik pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Barat pada saat itu.
Orang-orang Barat banyak menggunakan kapal-kapal yang besar dan per-lengkapan
yang lebih maju. Orang Indonesia menggunakan teknik pelayaran yang sederhana
dan ada yang masih menggunakan cara alam. Mereka berlayar dengan berpegang pada
pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun. Ada lagi yang masih
menggunakan perasaan atau naluri. Dengan melihat bentuk awan, pantulan sinar
matahari, serta warna dan jenis air laut, seorang nahkoda yang berpengalaman
dapat menentukan lokasi dan membawa kapalnya ke tujuan dengan selamat.
Para pelaut kita sudah mengenal mata angin. Pada umumnya dikenal delapan
mata angin, yaitu utara, timur, selatan, barat, timur laut, tenggara, barat laut, dan barat daya.
Ada suku bangsa yang hanya mengenal dua mata angin, yaitu ke darat (gunung) dan
ke laut. Para pelaut Sangir bahkan mengenal jenis mata angin yang lebih
terperinci lagi sebanyak 17 macam, untuk menentukan lokasi dan arah
pelayarannya mereka menggunakan tanda-tanda alam, seperti pulau, gunung,
tanjung, dan teluk.
Mereka juga berpegang pada bintang di langit pada malam hari. Mereka
mengenal gugusan bintang, seperti bintang mayang, Biduk, dan Waluku. Orang suku
Biak mengenal dua musim yang dipengaruhi bintang
Sawakoi (Orion) dan Rowangwandi
(Scorpio). Bila bintang Rowangwandi
masih di bawah cakrawala, itu berarti angin barat masih bertiup dengan ombak
yang besar dan membahayakan bagi para pelaut.
Para pelaut
kita banyak juga yang mengembangkan teknik pelayarannya seperti bangsa Barat.
Mereka juga mengenal kompas. Sebenarnya kompas itu merupakan hasil pemikiran
dari bangsa Cina, tetapi mereka baru menggunakan-nya sebagai alat pelayaran
pada abad ke-11. Pelaut Arab dan Parsi lebih dulu menggunakan kompas. Kompas
tersebut digunakan untuk menentukan arah bagi kapal yang sedang berlayar. Namun
demikian, hanya kapal-kapal yang berukuran agak besar yang menggunakan kompas.
Selain
kompas alat lainnya yang penting dalam pelayaran adalah peta. Pelaut-pelaut
Nusantara juga mengenal peta. Bahkan, dahulu pelaut Jawa sudah membuat peta
yang meliputi daerah pelayaran yang luas. Pelaut Bugis juga sudah membuat
petanya sendiri. Para pelaut menyimpan peta pelayaran tersebut dalam tabung
bambu. Walaupun pelaut kita peralatannya tidak selengkap kapal bangsa Barat,
namun prestasinya mengagumkan. Para pelaut kita pernah berlayar di Samudra
Indonesia sampai jauh melintasi daerah subtropik di selatan ataupun sampai ke
Pulau Madagaskar.
Cara Perdagangan dan Alat Transportasinya
Perdagangan antarpulau pada masa lampau dilakukan secara bertahap.
Barang-barang dagangan yang berasal dari daerah pedalaman dikumpulkan dan diangkut
ke pusat perdagangan di daerah pelabuhan. Barang-barang dagangan tersebut diangkut dengan
menggunakan pedati atau gerobak. Selain itu, ada juga yang diangkut melalui
sungai dengan menggunakan perahu. Setelah terkumpul dalam jumlah besar di pusat
perdagangan dekat pelabuhan, barulah terjadi jual beli dengan para pedagang
besar dari berbagai pulau.
Pada masa
lampau juga banyak dilakukan kegiatan perdagangan dengan cara tukar menukar
barang yang dinamakan barter. Tukar-menukar tersebut misalnya, barang
rempah-rempah ditukar dengan kain, rempah-rempah ditukar dengan beras, atau
beras ditukar dengan barang-barang yang lain. Cara barter sering menimbulkan
kesulitan dalam perdagangan karena kurang praktis dan sulitnya menentukan nilai
tukar barang.
Untuk mengatasi
kesulitan itu maka pada masa berdirinya kerajaan-kerajaan di Indonesia dibuat
mata uang. Mata uang tersebut dikeluarkan oleh kerajaan. Bahan mata uang itu
pun bermacam-macam, ada yang dari timah, perunggu, perak, dan emas. Pada zaman
dahulu, orang tidak bisa begitu terikat pada jenis mata uang dari negaranya
sendiri. Di pasar-pasar dan di pelabuhan, para pedagang secara leluasa membayar
dengan uang dari negara asalnya.
Alat transportasi dalam
perdagangan antarpulau pada zaman dahulu masih sederhana. Ukuran kapal pada
zaman dahulu tidak sebesar seperti zaman sekarang sehingga daya angkut kapalnya
sangat terbatas. Selain itu, kapal mereka hanya digerakkan oleh manusia dan
menggunakan layar. Dengan demikian, pelayaran mereka sangat tergantung dengan arah
angin dan karena terbatasnya sarana transportasi maka pelayaran mereka
membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke tempat tujuan.
Keterbatasan sarana
transportasi ini juga menimbulkan perdagangan berantai, artinya barang dagangan
dari suatu daerah berpindah tangan dari pedagang yang satu ke pedagang yang
lain, dari bandar satu ke bandar yang lain. Selain melakukan perdagangan
berantai banyak juga para pedagang yang melakukan perdagangan langsung dari
daerah asal barang dagangan ke daerah yang membutuhkan, misalnya para pedagang
Maluku berdagang rempah-rempah ke Jawa atau sebaliknya. Perdagangan langsung antarpulau
tersebut biasanya dilakukan oleh para pedagang besar atau saudagar kaya.
Dengan
ramainya kegiatan perdagangan antarpulau maka berkembang pula pusat-pusat
perdagangan atau pasar-pasar. Pasar-pasar tersebut biasanya berada di kota-kota
pelabuhan dan di dekat keraton sedangkan di pedesaan berada ditepi aliran
sungai. Pasar di kota pelabuhan banyak dikunjungi oleh para pedagang asing maka
dinamakan pasar internasional. Pasar-pasar itu mengisi khasanah keuangan
kerajaan. Raja memungut cukai dan pajak terhadap barang-barang yang dijual.
Sebaliknya, para pedagang dan pembeli mendapat per-lindungan dan keamanan dari
raja. Jadi, raja mengadakan pengawasan terhadap pejabat untuk menjaga keamanan
pasar.
Emporium Nusantara
Aktivitas perdagangan maritim sebagai bagian
integral tradisi pelayaran, telah diselenggarakan bangsa Indonesia sejak masa
prasejarah. Berdasarkan temuan nekara
perunggu yang tersebar hampir di seluruh Asia Tenggara, Rouffer, menyimpul-kan
adanya jaringan perdagangan rempah-rempah yang berasal dari Indonesia. Pedagang
Cina, Srilangka atau India mengambil rempah-rempah dari Indonesia, kemudian
didistribusikan kepada para pedagang Arab atau Eropa. Pierre Paris, menemukan
bahwa sekitar abad ke-3 SM, terdapat pelayaran orang Indonesia ke India dengan
menggunakan perahu bercadik. Pada waktu yang sama kemungkinan sudah terdapat
koloni pedagang Indonesia di Pantai Benggala dan Koromandel.
Indonesia terdiri atas banyak pulau besar dan kecil yang disatukan oleh
selat dan laut yang pada umumnya tidak seberapa dalam kecuali di perairan
Maluku. Bahwa orang-orang Indonesia yang mendiami Nusantara dari dahulu kala
telah melakukan pelayaran dibuktikan sejak zaman prasejarah, yaitu pada zaman
perpindahan nenek moyang orang-orang rumpun bangsa Melayu dari daerah Asia
Tenggara sekitar Teluk Tongkin tersebar luas di daerah Kepulauan Laut Selatan
pada sekitar tahun 2000-300 SM. Dengan perahu bercadik mereka telah mengarungi
perairan laut yang sangat luas itu.
Indonesia terdiri atas banyak pulau besar dan kecil yang disatukan oleh
selat dan laut yang pada umumnya tidak seberapa dalam kecuali di perairan
Maluku. Bahwa orang-orang Indonesia yang mendiami Nusantara dari dahulu kala
telah melakukan pelayaran dibuktikan sejak zaman prasejarah, yaitu pada zaman
perpindahan nenek moyang orang-orang rumpun bangsa Melayu dari daerah Asia
Tenggara sekitar Teluk Tongkin tersebar luas di daerah Kepulauan Laut Selatan pada
sekitar tahun 2000-300 SM. Dengan perahu bercadik mereka telah mengarungi
perairan laut yang sangat luas itu.
Berdasarkan sumber sejarah, pada zaman Mataram Kuno sudah ada
pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara, seperti Ujung Galuh yang terletak di
Muara Sungai Brantas Jawa Timur. Menurut Prasasti
Kamalagan, Pelabuhan Ujung Galuh selalu ramai dikunjungi perahu-perahu dari
kerajaan-kerajaan lain di luar Nusantara. Perdagangan antarpulau dan
perdagangan internasional yang melalui Pelabuhan Ujung Galuh pada saat itu
dilakukan oleh para pedagang besar. Para pedagang besar tersebut menggunakan
kapal layar besar.
Pada masa kejayaan
Sriwijaya pada abad ke-8 M dan ke-9 M, kontak hubungan perdagangan antarpulau
di wilayah Nusantara juga berkembang pesat. Jalur-jalur perdagangan strategis,
seperti Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Karimata dikuasainya. Dengan
armada laut yang kuat maka Sriwijaya mampu mengamankan jalur perdagangan
antarpulau di wilayah Nusantara.
Sriwijaya merupakan kerajaan pertama yang menjalankan fungsi emporium.
Fungsi emporium selanjutnya diperankan oleh kerajaan-kerajaan pedalaman di
Jawa. Khususnya Kediri, Singosari, dan Majapahit. Struktur kerajaan ini berbeda
dengan Sriwijaya. Kekuasaannya tidak berdasarkan perdagangan (maritim) tetapi
pada pertanian dan perdagangan (agro-maritim)
Sriwijaya merupakan kerajaan pertama yang
menjalankan fungsi emporium. Fungsi emporium selanjutnya diperankan oleh
kerajaan-kerajaan pedalaman di Jawa. Khususnya Kediri, Singosari, dan
Majapahit. Struktur kerajaan ini berbeda dengan Sriwijaya. Kekuasaannya tidak
berdasarkan perdagangan (maritim) tetapi pada pertanian dan perdagangan
(agro-maritim) .
Jaringan perdagangan maritim yang menghubungkan
emporium-emporium Nusantara, merupakan jalur reguler pelaut Timur Tengah. Para
pedagang dan mubaligh Islam telah singgah di Nusantara dan mendorong terjadinya
Islamisasi. Kehadiran awal orang muslim di nusantara diketahui dari berita I-Tsing ketika tahun 671 M ia menumpang
kapal Arab dari Kanton dan berlabuh di Sriwijaya.
Al Ramhurmuzi mengisyaratkan adanya sejumlah
muslin bumiputera dalam segmen-segmen penduduk Sriwijaya. Hal ini didukung oleh
Xhu Ju Kua yang menyatakan sejumlah penduduk Sriwijaya memiliki nama awal
“Pu”, yang diduga merupakan suatu perubahan dari kata “Bu” atau “Abu” yang
berarti bapak. Nama yang demikian begitu banyak dijumpai pada nama-nama pribadi
orang muslim (Azra. Dalam Kasiman)
OW Walters telah meneliti pola pelayaran dan perdagangan di Indonesia
pada awal Tarikh Masehi sebagai latar belakang munculnya Kerajaan Sriwijaya
pada abad ke-7. Kekuasaan dan kekayaan Sriwijaya disebabkan oleh perdagangan
internasional di Selat Malaka. Pelabuhannya bersifat transito, penting bagi
perbekal-an. Menurut Coedes, raja memiliki armada dagang sendiri, berwenang
menarik bea, mewajibkan kapal singgah, memaksa menimbun barang dan menarik
pajak. Bentuk-bentuk kewenangan golongan aristokrat dalam dunia perdagangan
dipraktikkan kemudian oleh para penguasa berikutnya di Nusantara.
Emporium muncul sejak abad ke-10. Emporium adalah
kota-kota pelabuhan yang dilengkapi berbagai fasilitas seperti gudang, pasar,
penginapan, perbekalan, syahbandar, kredit, dan lain-lain (Leirizza. 1996).
Pertumbuhan emporium secara geo ekonomi ditunjang oleh pusat-pusat ekonomi
lain, yang dikategorikan Liang Sau Heng, menjadi tiga yaitu pusat pengumpul (Collecting centres), tempat-tempat
pengumpan (feeder points) dan entreport (Zuhdi. 2002). Emporium
mengalami perkembangan pesat antara abad ke-14 sampai 16, sejalan dengan fase
Islamisasi di Nusantara. Spirit islam ikut menyuburkan perkembangan emporium
yang membentang dari Jazirah Arab, India, Asia Tenggara sampai Asia Timur.
Pada masa kejayaan Majapahit pertengahan abad ke-14 M, kontak hubungan
perdagangan antarpulau di wilayah Indonesia berkembang semakin pesat. Dengan
semakin ramainya hubungan dagang antarpulau di wilayah Indonesia berkembang
pula kota-kota bandar di sepanjang pantai. Pada masa itu telah ada kota bandar
terpenting, seperti Gresik, Tuban, dan Jepara. Kota-kota bandar tersebut
merupakan gudang penyimpanan rempah-rempah yang berasal dari Maluku.
Berdasarkan sumber yang berasal dari zaman Majapahit di sebutkan bahwa Raja
Hayam Wuruk menguasai 33 pelabuhan yang tersebar di seluruh Nusantara.
Rempah-rempah dari Maluku (pala dan cengkeh) merupakan petunjuk penting
untuk mengetahui kapan Maluku mengadakan hubungan dengan dunia luar. Menurut
para ahli tumbuh-tumbuhan, tanah asal rempah-rempah adalah Maluku terutama
Maluku Tengah dengan palanya dan Maluku Utara dengan cengkehnya. Orang Tionghoa
hanya mengetahui cengkeh dari Maluku saja. Dalam sejarah raja-raja Ming abad
XVI tercatat bahwa Maluku satu-satunya negara Timur yang menghasilkan cengkeh.
Dalam berita Romawi cengkeh yang disebut garyyophyllon,
merupakan tumbuhan sakti yang dikatakan berasal dari India sehingga dapat
disimpulkan bahwa orang Eropa telah mengenal cengkeh sejak abad kedua Masehi.
Dari berita-berita tersebut nampaknya pelayaran
ke Maluku memang belum dilakukan secara langsung, tetapi Maluku telah dikenal
oleh para pedagang dari Arab, Eropa dan Timur Tengah. Diberitahukan bahwa hasil
dari tanah kepulauan Maluku tersebut diambil dari pelabuhan disebelah barat
yaitu Pelabuhan Sriwijaya.
Untuk berita-berita yang lebih kontemporer
tentang pelayaran di Maluku dapat dilihat dari berita Tionghoa. Menurut
Gronevelt berita tentang Maluku muncul pertama kali pada masa Dinasti Tang
(618-906) dikatakan bahwa pulau Bali terletak di sebelah timur Kaling (Jawa)
dan di sebelah barat Na-li-ku (Maluku)
Masyarakat di kepulauan Maluku tiap desa
mempunyai hari pasar tertentu. Barang jualannya dibawa dalam keranjang yang
disebut salor yang diberi tali untuk
digantungkan pada bahu dan punggung. Bisnis perdagangan lokal ini umumnya
dilakukan wanita. Merekalah yang menjual atau membeli dan mengadakan tawar
menawar. Kalau diadakan kontrak tentang jual beli atau jika transaksi
dibatalkan, semua anggota keluarga harus dimintai pendapatnya.
Pelabuhan terbesar yang dapat digunakan untuk
berlabuh dan sebagai pusat perdagangan pada masa itu adalah Pulau Makian di
wilayah kekuasaan Bacan. Di pelabuhan Makian inilah orang-orang Cina membeli
cengkeh untuk pertama kali dalam jumlah besar. Uang yang digunakan sebagai alat
tukar di kepulauan Maluku adalah “fang” mata uang Cina.
Orang-orang Cina menurut Galvao dianggap sebagai orang asing pertama yang
mengadakan perdagangan di Maluku. Orang Cina berdagang ke Maluku melalui route jalur pelayaran utara yakni melalui Kalimantan. Pelayaran
ini selain membawa pengaruh terhadap jalur-jalur perdagangan juga telah
mempengaruhi bahasa-bahasa yang dipakai di daerah Bacan dan sekitarnya. Di
daerah Bacan dan sekitarnya bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu. Bahasa
Maluku di kepulauan Maluku hampir sama dengan bahasa Melayu di Kalimantan
bagian Utara.
Munculnya Ternate sebagai bandar jalur sutra
lebih banyak didukung adanya jalur laut. Sejak para pedagang Cina tidak muncul
lagi di Maluku. Sejak paruh kedua, abad ke-14, peranan mereka digantikan oleh
orang-orang dari Jawa, Sumatera, Makasar, dan Tagalok. Maka sejak itu Majapahit
menjadi bagian ter-penting dalam perdagangan rempah-rempah dari Maluku. Dalam
Kitab Negara Kertagama Mpu Prapanca (1365) sempat mencatat adanya “Maloko” yang diartikan sebagai empat
kekuasaan di Maluku Utara yang lazim dinamakan “Maluku Kie Raha” (RZ Leirissa, 1996)
Sementara itu perdagangan di daerah Nusa Utara
yang merupakan daerah yang mempunyai pengaruh dengan Ternate sangat ditentukan
oleh penguasa setempat yang disebutnya sebagai datu atau raja. Seorang datu
atau raja dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh kapitang laung/kapiten
laut, hukum mayor, hukum dan syahbandar. Pejabat syahbandar mempunyai tugas
mengurus keadaan pelabuhan dan berurusan dengan nahkoda-nahkoda kapal
keluar-masuk dari pelabuhan. Setiap kali berlabuh nahkoda harus membayar upeti
yang diberikan sesuai kehendak syahbandar. Bila ada pembesar-pembesar datang
syahbandar diwajibkan menjemputnya dengan kapal, sementara itu kapitan laut
bertugas memimpin dan mengurus warga serta mengatur upeti.
Rempah-rempah, teripang, dan budak merupakan tiga hal yang menandai
perniagaan di Nusa Utara. Di samping komoditas lainnya seperti minyak kelapa,
dan kain koffo tenunan serat manila hemp yang digunakan sebagai upeti terhadap
penguasa. Di Pulau Siau dan Tagalandang, pala dan cengkeh adalah jenis
rempah-rempah yang menjadi daya tarik Portugis dan Spanyol. Pada tahun 1661
orang Spanyol dikabarkan menanam cengkeh secara besar-besaran di Siau.
Sementara itu VOC melakukan ekspedisi hongi
tochen atas kedua jenis tanaman tersebut. Pala, kayu manis, dan cengkeh kemudian menjadi jenis tanaman yang dilarang dan
harus dimusnahkan di Nusa Utara. Hal ini diatur dalam perjanjian antara
raja-raja Nusa Utara dan Ternate dengan VOC.
Kegiatan pengumpulan hasil laut berupa teripang
diperkenalkan oleh para pedagang dan pelaut Cina dengan tenaga pengumpul dan
penyelamnya sebagian besar orang Saina dari Philipina. Kegiatan ini, meskipun tidak
dilakukan besar-besaran tetap berlanjut hingga awal abad ke-20.
Perburuan budak dan penangkapan orang-orang yang
kemudian dijual menjadi budak meningkat pada masa-masa Kesultanan Sulu berjaya
di kawasan ini (1768 M-1898 M). Bajak laut Mangindao dan Balangingi merupakan
momok bagi penduduk Nusa Utara. Para perampok ini berkeliling dari pulau yang
satu ke pulau yang lain menjarah dan menangkap penduduk setempat. Para budak
ini kemudian dijual atau ditukar dengan lantakan maupun barang pecah belah serta
tempat sirih pinang dari tembaga. Adanya perampokan dan penangkapan budak yang
merajalela di Nusa Utara itu mendorong pedagang Cina dan Arab memilih berdagang
di pusat keramaian seperti di Ternate dan Manado.
Hitu merupakan bandar utama di Maluku Tengah sebelum abad ke-17.
munculnya Hitu bersamaan dengan meluasnya penanaman cengkeh di jazirah Hoamoal
di Seram Barat. Perluasan wilayah penanaman cengkeh ini ada kaitannya dengan
perluasan kekuasaan Ternate di wilayah Maluku Tengah. Kedudukan istimewa Hitu disebabkan
adanya hubungan dengan Jepara di Jawa. Hubungan ini terutama dibina oleh Jamilu
dan turunannya yang dikenal sebagai keluarga Perdana Nusapati.
Sejak abad ke-16 menjadi pelabuhan utama dan pelabuhan lainnya di Seram
Timur dan kepulauan Seram Laut dan Gorong mengacu pada Hitu sebagai feeders. Oleh karena adanya hubungan
antara Seram laut dan Gorong dengan kepulauan Kei-Aru dan Tanimbar maka kedua
gugusan pulau tersebut berkaitan secara tidak langsung dengan Hitu untuk
menyalurkan hasil-hasil lautnya.
Dalam berita pelayaran “Shun Feng
Shiang Sung” (pedoman pelayaran. 1430 M) disebutkan bahwa jalur pelayaran
bagian timur berturut-turut dari Chuan
Chou ke kepulauan Pascadores lalu menyusuri Taiwan,
Luzon dan Lubang ke Nindoro. Kemudian menuju Mindanao dan Maluku. Jalur
perdagangan muslim dari Arab maupun Iran melalui Gujarat, Samudara Pasai,
Maluku, Pesisir Utara Jawa.
Berdasarkan sumber yang berasal dari zaman
Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, nama Demak telah disebut sebagai
salah satu dari 33 pangkalan jaringan lalu lintas Majapahit. Demak juga dipakai
sebagai tempat singgah Cheng Ho ketika mengadakan ekspedisi tahun 1431 M-1433
M. pada abad ke-16 Demak telah menjadi tempat penimbunan perdagangan padi yang
berasal dari daerah-daerah pertanian di sekitarnya.
Peranan Demak sebagai pusat kegiatan ekonomi
pertanian menjadi semakin penting, terutama ketika Juwana dihancurkan oleh
penguasa Majapahit tahun 1513 M. Runtuhnya Juwana mengakibatkan Demak secara
penuh mendominasi perekonomian di Pesisir Utara Pulau Jawa. Jepara yang menjadi
wilayah kekuasan Demak merupakan pelabuhan yang aman dan tenang. Letak
pelabuhan Jepara sangat menguntungkan kapal-kapal dagang yang lebih besar, yang
berlayar lewat pantai utara Jawa menuju Maluku dan kembali ke barat.
Hubungan antara Demak dan daerah pedalaman Jawa
Tengah dilaksanakan melalui sungai Serang. Sungai ini sampai abad ke-18 masih
dapat dilayari dengan perahu dagang setidaknya sampai Godong. Komodite utama
ekspor kerajaan Demak adalah beras dan bahan-bahan makanan lain. Tempat tujuan
ekspor barang-barang komodite dari Demak adalah Malaka.
Selat Malaka sebagai jalur perdagangan yang
dipergunakan oleh lalu lintas pelayaran internasional telah dimulai sejak awal
abad Masehi. Bukti-bukti arkheologis malah memperkirakan bahwa hubungan
perdagangan antara kawasan pantai timur Pulau Sumatera itu telah ada sejak
masa-masa jauh sebelumnya.
Pelayaran orang-orang Arab ke India telah berlangsung sebelum
ber-kembangnya Agama Islam. Pada tahun 114 pelayaran Arab berhasil sampai ke
India. meskipun dalam perjalannya pulang ke Alexandria mereka dihantam badai di
Pantai Afrika. Sumber lain yang menyebutkan tentang adanya hubungan serupa pada
masa yang sama berasal dari Hourani yang diambil dari Baladhuri dan Tabhari. Dikatakan bahwa di Semenanjung Melayu terdapat sebuah pelabuhan
yang dijadikan tempat persinggahan pedagang-pedagang Arab dalam perjalanan ke
Cina.
Produksi pertanian dari Sumatera menyebabkan para pedagang Arab yang
mencari barang-barang itu memusatkan kegiatan perdagangan ke sana. Pasai yang
terletak pada jalur perdagangan antara India dan Cina menjadi tempat
persinggahan para pedagang tersebut. Hal ini ditambah lagi dengan pengaruh
Angin Muson yang seringkali menyebabkan para pedagang tersebut harus tinggal
dalam waktu yang cukup lama. Kedua faktor inilah yang menyebabkan terlibatnya
Pasai dalam perdagangan internasional. Pada waktu itu Pasai bangkit abad ke-12
M-13 M di Sumatera bagian utara memang terjadi perdagangan yang ramai.
Catatan Dinasti Mongol menunjukkan bahwa Pasai
pada tahun 1282 M telah mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol. Peranan
Pasai merosot dengan mulai tumbuhnya Malaka. Akhirnya peranan Pasai digantikan
oleh Aceh setelah ditaklukkan Sultan Ali Mughayat Syah.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511
M para pedagang Islam berpindah dari Pasai ke Aceh sehingga Aceh menjadi
berkembang. Kerajaan Pasai menghasilkan komodite budak, padi, lada, susu sapi,
sutra, dan benzoin. Sedang-kan impor yang dilakukan Pasai meliputi; sutera
berwarna dari Cina, tembikar, tembaga, dan besi. Pelabuhan Pasai disinggahi
pedagang-pedagang dari Rum, Turki, Arab Persia, Gujarat, Keling Melayu, Jawa,
dan Siam. Pedagang Arab mendapatkan barang-barang dari Cina di Pelabuhan Pasai.
Pelabuhan Pontianak mempunyai letak yang sangat
strategis dilihat dari lalu lintas laut, sehingga menjadikan kota Pontianak
sebagai pintu gerbang daerah Kalimantan Barat. Pantai Kalimantan Barat terletak
di jalur lalu lintas Internasional yang menghubungkan kepulauan Indonesia
dengan wilayah Asia melalui Selat Malaka, sehingga menjadikan pelabuhan
Pontianak memiliki peran yang sangat penting pada masa lampau. Sejak zaman
kuno, pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh pedagang-pedagang dari
Eropa dan pedagang Cina itu memerlukan tempat persinggahan dan tempat yang
paling tepat adalah pelabuhan.
Pelabuhan Pontianak digunakan sebagai tempat
persinggahan kapal-kapal besar, bahkan sebagai kota perdagangan bagi
bangsa-bangsa Eropa, Cina, dan lain-lain serta pedagang-pedagang dari Nusantara
seperti: dari Palembang, Johor, Riau, Banten, Mataram, Kalimantan Selatan,
Makasar, Bugis, dan sebagainya. Perdagangan yang dilakukan antara
pedagang-pedagang Nusantara ini selalu dihubungkan dengan perdagangan sutra
melalui jalur laut, sehingga pelabuhan Pontianak memiliki peran strategis.
Letak pelabuhan Pontianak yang agak menjorok ke daratan mengakibatkan pelabuhan
ini aman untuk berlabuh kapal.
Pontianak didirikan di simpang tiga sangai besar
yaitu Sungai Landak yang mengalir dari arah timur laut, Sungai Kapuas Kecil
yang mengalir dari arah timur dan Sungai Kapuas Besar yang berfungsi sebagai
filter terhadap kemungkinan bahaya yang ditimbulkan oleh kapal-kapal yang
datang. Kalimantan Barat mempunyai kekayaan alam yang
melimpah. Dari hutan-hutan tradisional di Kalimantan dihasilkan komodite berupa
lilin lebah, kapur barus, kayu kemenyan, dan madu. Barang-barang hasil tambang
meliputi emas, platinum, intan, dan batu bara. Komoditas lainnya adalah kopra,
karet, dan lada.
Sementara itu Pontianak memerlukan barang-barang seperti beras, gula,
minyak bakar, tekstil, alat-alat rumah tangga, sutera, dan porselin. Tanaman
kelapa sawit dan lada merupakan jenis tanaman perkebunan yang tergolong tua.
Tanaman kelapa sawit diusahakan di tepi pantai sedangkan tanaman lada
diusahakan di daerah hulu. Pontianak sendiri tidak banyak menghasilkan kelapa
sawit dan lada, tetapi pelabuhan Pontianak hanya mengekspor barang-barang
tersebut.
Perdagangan di Pontianak tidak dapat dipisahkan dari peran
pedagang-pedagang Cina. Kedatangan orang Cina di Kalimantan Barat menempuh dua
jalur. Jalur pertama, melalui Indocina terus ke Malaya dan menyebar ke Pantai
kalimantan Barat, terutama ke Sambas dan Mempawah. Jalur kedua melalui
Kalimantan Utara menuju ke daerah Palok dan Sambas. Dari Sambas mereka menuju
ke daerah pedalaman dan Mempaweh hulu untuk menemukan tambang emas.
Barang-barang komodite Cina yang pokok adalah guci, sutera, manik-manik,
besi, dan panci-panci tembaga. Barang-barang ini merupakan barang-barang mewah dan mempunyai harga yang mahal. Di antara barang-barang itu guci
warna hijau merupakan komodite yang paling mahal.
Cirebon juga merupakan emporium yang penting sebelum abad ke-6 pada masa
Raja Purnawarman (abad ke-5) telah diadakan program pembangunan sungai, yaitu
memperlebar, memperdalam sungai yang dilakukan dengan karya bakti masyarakat.
Pembangunan ini dimulai dengan memperkokoh pinggiran Sungai Gangga di wilayah
Indraprahasta (Cirebon Girang). Kitab Purwaka Caruban Nagari juga menyebutkan
bahwa pada tahun 1415 armada Cina yang dipimpin oleh Laksamana Te Ho dan Kun
Wei Ping berlabuh di Cirebon. Penguasa setempat memanfaatkan kedatangan armada
Cina ini untuk bekerja sama membangun mercusuar di Pelabuhan Cirebon.
Pelabuhan Cirebon selain dikunjungi oleh orang-orang Cina juga singgah di
sana pedagang-pedagang yang berasal dari Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik,
Persia, Jawa Timur, dan Palembang (Adeng, 1998). Setelah Demak melebarkan
sayapnya untuk menguasai bandar-bandar di Pantai Utara Pulau Jawa, pelabuhan
Cirebon semakin berkembang. Perkembangan pelabuhan Cirebon didukung oleh
wilayah pedalaman yang dapat diandalkan sebagai pemasok bahan-bahan pertanian.
Daerah pedalaman yang mengelilingi Cirebon merupakan wilayah penyangga
yang tanahnya subur dan terdiri atas dataran rendah dan tinggi. Dari daerah ini
dihasilkan sayur mayur, garam, trasi, buah-buahan, macam-macam daging, padi,
indigo, dan kayu. Sedangkan barang-barang yang diperlukan adalah logam besi,
emas, perak, tekstil halus, dan keramik
Perkembangan Cirebon sebagai Kota Pelabuhan didukung oleh sistem
pemerintahan yang cukup baik, serta adanya jalan-jalan darat meskipun
kondisinya belum tentu baik. Jalan darat yang menghubungkan kota Cirebon dengan
daerah pedalaman mungkin sekali sudah ada sejak masa Kerajaan Pajajaran. Barang-barang yang dibawa oleh kapal-kapal dari Cirebon yang berlabuh di
Batavia memuat minyak kelapa, gula hitam, beras, dan sejumlah besar buncis
putih. Kemudian juga dicatat adanya kapal yang memuat beras, bebek, gula hitam,
daging kijang, buah mangga, pisang, dan telur asin.
Peranan Indonesia dalam Pelayaran dan Perdagangan pada Masa Kuno
Indonesia memiliki letak geografis yang sangat strategis karena hal sebagai
berikut.
1.
Indonesia terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia serta antara
Samudra Indonesia dan samudra Pasifik. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tanah
air kita berada pada bagian dari permukaan bumi yang sangat ramai untuk lalu
lintas dunia.
2.
Indonesia terletak di daerah yang beriklim tropis dengan curah hujan yang
rata-rata tinggi.
3.
Indonesia memiliki banyak gunung berapi dan sungai sehingga menyuburkan
tanah-tanah di sekitarnya. Hal ini menjadi modal dasar yang utama bagi
pengembangan usaha pertanian.
4.
Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah baik dari hasil pertanian,
hasil hutan, hasil tambang, maupun hasil dari laut sehingga Indonesia sering
dikunjungi oleh banyak pedagang besar dari berbagai negara.
5.
Indonesia terdiri atas ribuan pulau dengan laut-lautnya yang dalam dan
dangkal yang luas sehingga merangsang timbulnya usaha perikanan laut dan
perdagang-an antarpulau.
Wilayah Indonesia yang
mempunyai letak strategis berada di titik silang lalu lintas dan perdagangan
dunia mendorong Indonesia selalu terlibat dan turut serta dalam gerak
perdagangan dunia teristimewa dengan negeri Cina dan India. Semula para pedagang
Cina hanya lewat saja di Selat Malaka untuk menuju India. Demikian pula
sebaliknya, tetapi akhirnya singgah juga di Indonesia untuk menambah perbekalan
dan juga barang dagangan sehingga berkembanglah hubungan dagang dengan India
dan Cina.
Barang perdagangan dari
Cina berupa sutra dan porselin, dari India berupa gading dan ukir-ukiran,
sedang dari Indonesia berupa emas, beras,
dan rempah-rempah. Bersamaan dengan semakin berkembang-nya hubungan
dagang tersebut maka muncul beberapa pelabuhan dan pasar-pasar di sepanjang
Pantai Timur Sumatera, Semenanjung Malaya, Pantai Utara Jawa, Kalimantan,
Sulawesi Selatan, dan Maluku. Beberapa kota pelabuhan mengalami perkembangan yang
semakin cepat setelah di Indonesia berdiri kerajaan-kerajaan kuno sejak abad
ke-5 Masehi.
Hubungan antara
Indonesia dan India semakin meningkat setelah berdiri kerajaan Sriwijaya pada
abad ke-7 Masehi. Letak Sriwijaya yang strategis dekat Selat Malaka sebagai
jalur lalu lintas pelayaran menyebabkan banyaknya para pedagang dari India dan
Cina yang datang ke Sriwijaya. Pada saat itu para pedagang telah menggunakan
kapal dagang yang mampu mengarungi samudra. Hal itu digambarkan dengan jelas
pada relief Candi Borobudur di Jawa
Tengah (850 M).
Pada akhir abad ke-13 M,
di Jawa Timur berdiri Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini mencapai puncak
kejayaannya pada pertengahan abad ke-14 Masehi. Kota Gresik dan Tuban merupakan
kota pelabuhan terbesar pada saat itu. Kedua bandar tersebut menjadi gudang
rempah-rempah dari Maluku. Selain Pelabuhan Gresik dan Tuban juga tumbuh
Pelabuhan Jepara. Barang rempah-rempah dari Maluku yang berada di bandar-bandar
Pulau Jawa ini selanjutnya dibawa ke berbagai negara. Ke arah barat menuju
India, Persia, dan selanjutnya ke Eropa, sedangkan ke arah utara sampai ke
Cina.
Dengan semakin
berkembangnya hubungan dagang antara Eropa dan Asia (termasuk Indonesia) maka
perdagangan rempah-rempah Indonesia semakin ramai. Hasil rempah-rempah
Indonesia mulai banyak dikenal Eropa. Hal ini mendorong bangsa Eropa untuk
datang sendiri ke Indonesia untuk membeli rempah-rempah.
0 komentar:
Post a Comment