Ada yang menyebut perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-1830 terhadap Belanda dengan istilah ”perang Jawa”. Perlawanan itu memakan waktu 5 tahun, suatu waktu yang cukup lama. Hal ini menunjukkan, bahwa perlawanan itu diatur dengan baik oleh tokoh sentralnya, Pangeran Diponegoro sendiri. Diponegoro adalah putra Pangeran Adipati yang terkenal dengan nama Sultan Hamengkubuwono III. Beliau adalah seorang yang taat beribadah, saleh, tinggi budinya, halus jiwanya. Diponegoro dekat dengan rakyat biasa, hal ini terbukti dari nama yang dipakainya: Sech Ngabdulrachim. Di keraton beliau tetap memakai nama: Pangeran Diponegoro, mungkin dengan maksud, supaya ia tidak dapat didesak oleh pejabat-pejabat kesultanan.
Karena ulah penjajah, kerajaan
Mataram yang besar, di bawah Sultan Agung Hanyokrosumo, terpecah belah menjadi
kerajaan yang kecil. Melalui perjanjian Gianti 1755, kerajaan Mataram
dipecah menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta. Dengan
perjanjian Salatiga 1757 muncullah kekuasaan baru yang disebut Mangkunegaran
dan pada tahun 1813 muncul kekuasaan Pakualam. Kenyataan inilah yang
dihadapi oleh Diponegoro.
Pengaruh Belanda di keraton makin
bertambah besar. Adat kebiasaan keraton Yogyakarta seperti menyajikan sirih
untuk Sultan bagi pembesar Belanda yang menghadap Sultan dihapuskan.
Pembesar-pembesar Belanda duduk sejajar dengan Sultan. Yang paling
mengkhawatirkan adalah masuknya minuman keras ke keraton dan beredar di
kalangan rakyat.
Campur tangan yang amat dalam
mengenai penggantian takhta dilaksanakan oleh Belanda. Demikian pula mengenai
pengangkatan birokrasi kerajaan. Misalnya pengangkatan beberapa pegawai yang
ditugaskan untuk memungut pajak. Pajak yang dipungut banyak macamnya. Rakyat
sangat menderita karena pajak ini. Suatu peristiwa yang menyakitkan hati
Diponegoro adalah pengangkatan Kepala Kepatihan, yaitu Raden Tumenggung
Sumodipuro dari Jipang terkenal dengan nama: Danuredjo IV. Kepala
Kepatihan yang baru ini amat congkak, dengki dan memusuhi Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro sendiri oleh Belanda diangkat sebagai anggota Dewan
Perwalian dari Mas Menol, putera Sultan Hamengkubuwono IV yang baru berusia
3 tahun. Anggota Dewan Perwalian yang lain adalah nenek perempuan Mas Menol,
ibunya, dan Pangeran Mangkubumi.
Keadaan ini semua menyebabkan
Pangeran Diponegoro tidak betah tinggal di keraton. Ia senang mengasingkan diri
dan tinggal di Tegalrejo, di rumah buyutnya Ratu Ageng, janda Sultan
Hamengkubuwono I. Di Tegalrejo ini Pangeran Diponegoro merasakan hidup yang
tenang. Ia suka bepergian ke tempat-tempat yang sunyi untuk bertapa atau
mengembara di bukit-bukit dan di hutan-hutan. Ia mengetahui pula perkembangan
keadaan di keraton dan keadaan rakyatnya, karena ia sering dikunjungi oleh
pamannya Mangkubumi, rakyat dan para santri di sekitar desa Tegalrejo. Alam
Tegalrejo yang subur, indah, dan merupakan daerah pertanian memberikan
kedamaian hidup bagi Pangeran Diponegoro.
Ketenangan hidup yang dialami
oleh Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tiba-tiba bergejolak. Penyebabnya adalah
perbuatan Patih Danurejo IV yang menyuruh para pekerja untuk memasang
patok-patok di tanah milik Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro mengetahui,
kemudian ia minta kepada patihnya, Mangunhardjo, supaya diberitahukan kepada
kepala pekerja yang membuat jalan itu untuk menghentikan pekerjaan itu.
Jawabnya adalah bahwa ia tidak dapat mengabulkan permintaan itu, sebab ia
bekerja atas perintah Patih Danurejo IV. Kemudian patok dicabut secara paksa
oleh orang-orang Tegalrejo. Atas perintah Patih Danurejo IV patok dipasang
kembali. Patok dicabut kembali atas perintah Diponegoro.
Demikian berulang-ulang peristiwa
pemasangan dan pencabutan patok-patok itu memanaskan suasana dan ketentraman
rakyat Tegalrejo terganggu. Kemudian Mangkubumi datang ke Tegalrejo untuk
menyampaikan permintaan residen Smissaert agar Diponegoro datang ke kraton.
Diponegoro tidak bersedia datang ke kraton. Rupanya hal itu adalah siasat saja
untuk menangkap Diponegoro. Kemudian Belanda menyerang Tegalrejo dan mulai
sejak saat itu, Pangeran Diponegoro secara terang-terangan melawan Belanda.
Perlawanan Pangeran Diponegoro dapat dibagi atas tiga babakan waktu.
1. Pertama: 1825-1826
Dalam babakan pertama ini
kemenangan berada di pihak Diponegoro. Pusat pertahanan Diponegoro
ditempatkan di bukit Selarong, suatu tempat yang dikelilingi lembah-lembah
yang dalam di sekitarnya. Dari susut pertahanan tempat ini strategis.
Perlawanan Diponegoro ternyata banyak mendapat simpati. Pemuka-pemuka masyarakat,
seperti Kiai Mojo, Kiai Kasan Besar menggabung pada Diponegoro. Alibasah Sentot
Prawirodirdjo menjadi salah seorang panglima pasukan Diponegoro. Pada babakan
pertama ini semua kekuatan rakyat dapat digerakkan. Di mana-mana terjadi
perlawanan seperti Kertosono, Madiun, Banyumas, dan lain-lain.
Kemenangan yang berarti bagi Diponegoro pada babakan pertama ini adalah kemenangan
dalam pertempuran dekat Lengkong pada tanggal 30 Juli 1826 dan pertempuran
Belanggu tanggal 28 Agustus 1826.
2. Kedua: 1827-1828
Pada babakan kedua ini pasukan
Diponegoro terdesak pada setiap medan pertempuran oleh karena Belanda
menggunakan siasat baru ialah siasat benteng. Benteng Stelsel atau
Sistem Benteng ini mulai dilaksanakan oleh Jenderal De Kock pada babakan
kedua ini. Tujuannya adalah untuk memper-sempit ruang gerak pasukan Diponegoro
dengan jalan mendirikan pusat-pusat pertahanan berupa benteng-benteng di
daerah-daerah yang telah dikuasainya.
Dengan adanya siasat baru ini
perlawanan pasukan Diponegoro makin lemah. Di samping itu Belanda berusaha
menjauhkan Diponegoro dari pengikut-nya. Pangeran Suryomataram dan Ario
Prangwadono tertangkap pada tanggal 19 Januari 1827 sedang Pangeran
Serang dan Pangeran Notoprojo tertangkap pada tanggal 21 Juni 1827. Setelah
penangkapan disusul oleh perundingan dan penyerahan. Kiai Maja
mengadakan perundingan dengan Belanda tanggal 31 Oktober 1828 di Mlangi.
Pangeran-pangeran pengikut Diponegoro satu demi satu menyerah kepada Belanda.
Pangeran Notodiningrat menyerah tanggal 18 April 1828, Pangeran Ario Papak pada
bulan Mei 1828, dan Sosrodilogi pada tanggal 3 Oktober 1828. Keadaan Pangeran
Diponegoro menjadi lebih sulit lagi setelah De Kock menjadikan Magelang pusat
kekuatan militernya.
3. Ketiga: 1829-1830
Pimpinan tertinggi Belanda di
Batavia menghendaki agar perlawanan Diponegoro secepatnya dihentikan, karena
peperangan ini menghabiskan biaya yang besar sekali. Jalan yang ditempuh oleh
Belanda adalah jalan perundingan. Tokoh perundingan Belanda Residen Van Nels
mengirimkan surat kepada Mangkubumi agar menghentikan perlawanan. Sebelumnya De
Kock juga mengirimkan surat kepada Sentot dengan maksud yang sama (11 Februari
1829), Sentot juga menerima surat dari Van Nels tertanggal 27 Juli 1829 dengan
maksud mengajak damai. Mangkubumi akhirnya menyerah kepada Belanda setelah
dibujuk oleh putranya, yang telah menyerah terlebih dahulu (Sepember 1829).
Sentot juga menyerah bersama pasukannya pada tanggal 24 Oktober 1829. Pangeran
Ario Suriokusumo menyerah pada tanggal 1 November 1829, Joyosudirgo menyerah
pada pertengahan bulan Desember 1829, Pangeran Dipokusumo, putra Diponegoro,
menyerah pada tanggal 8 Januari 1830.
Penyerahan para pengeran ini
secara berturut-turut sangat memukul perasaan Diponegoro. Dalam menghentikan
perlawanan Diponegoro, rupanya Belanda memakai prinsip menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan dalam menghadapi Diponegoro. Hal ini terbukti dari
peristiwa berikut ini.
Pertemuan antara Kolonel Cleerens
dengan Diponegoro di desa Romo Kamal pada tanggal 16 Februari 1930 belum menghasilkan suatu kemufakatan.
Kemudian perundingan dilanjutkan di Kecawang. Perundingan ini pun menemui
kegagalan. Di dalam perundingan ini Cleerens menyarankan kepada Diponegoro
untuk melanjutkan perundingan di kota Magelang dengan jaminan ia akan mendapat
perlakuan jujur, dalam arti apabila perundingan gagal ia diperbolehkan kembali
ke medan perang. Ternyata janji Cleerens ini adalah suatu siasat untuk
menangkap Diponegoro, apabila perundingan gagal. Otak dari gagasan ini adalah De
Kock.
Demikianlah Pangeran Diponegoro
yang percaya dengan janji Cleerens telah tiba di bukit Manoreh bersama
pasukannya pada tanggal 21 Februari 1830 dan kemudian memasuki kota Magelang
tanggal 8 Maret 1830.
Perundingan ini baru dilaksanakan
pada tanggal 28 Maret 1830, setelah Diponegoro beristirahat selama 20 hari
karena bulan Ramadhan. Ternyata perundingan ini menemui kegagalan dan dalam
perundingan itulah Pangeran Diponegoro ditangkap. Belanda telah mengkhianati
Diponegoro. Belanda telah mengkhianati janjinya. Dari Magelang Diponegoro
dibawa ke Semarang dan Batavia. Akhirnya diasingkan ke Manado tanggal 3 Mei
1830. Pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Makassar dan wafat tanggal 8 Januari
1855 dalam usia 70 tahun.
0 komentar:
Post a Comment