Perlawanan
Pangeran Hidayat dan Pangeran Antasari di Kalimantan Selatan
Persaingan antara saudagar-saudagar
Banjar dan Belanda dimulai sejak perempatan pertama abad ke-17. Hal itu bermula
dari sikap Sultan Rahmatullah yang memberi izin kepada Belanda untuk mendirikan
kantor dagang di Banjarmasin. Sikap Sultan itu dalam rangka mencari sekutu
untuk menghadapi Sultan Agung dari Mataram.
Terhadap para sultan kerajaan Banjar, Belanda tetap
menjalankan politik yang klasik, yaitu monopoli perdagangan, campur tangan
dalam pergantian sultan-sultan kerajaan Banjar, pengangkatan birokrasi kerajaan
(politik devide et impera).
Dalam monopoli perdagangan lada, rotan, damar, dan
hasil-hasil tambang (emas dan intan), Belanda berhadapan dengan
saudagar-saudagar Banjar, para bangsawan, para haji (yang mempunyai kepentingan
dalam perdagangan). Mereka ini semua menganggap Belanda menjadi penyebab
timbulnya kerugian pada mereka. Persaingan dalam dunia perdagangan meningkat
menjadi permusuhan, oleh karena Belanda berusaha menguasai beberapa wilayah
kerajaan Banjar. Pertikaian soal takhta antara Sultan Tahmidillah dengan
Pangeran Amir, memberi kesempatan kepada Belanda untuk membantu Sultan
Tahmidillah yang menang telah meminta bantuan Belanda. Pangeran Amir dapat
disingkirkan oleh Belanda dan Sultan Tahmidillah diikat dengan perjanjian 13
Agustus 1787. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa sultan harus menyerahkan
sebagian dari wilayahnya antara lain daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai,
Bolungan, dan Kotawaringin.
Perjanjian demi perjanjian telah mengikat sultan-sultan
kerajaan Banjar, lebih-lebih setelah Belanda menerima kembali penguasaan
wilayah Indonesia dari Inggris (Konvensi London 1814). Sultan Sulaiman,
pengganti Sultan Tahmidillah II telah menyerahkan tanah Dayak, Sampit, Sintang,
Bakumpai, Tanah laut kepada Belanda karena kepandian diplomasi J. van
Beecholst. Untuk menjaga ketertiban dan keamanan Belanda mendirikan benteng di
Bakumpai. Setelah mengikat Sultan Sulaiman (1 Januari 1817), Belanda juga
berbuat yang sama terhadap pengganti-nya, yaitu Sultan Adam (1825-1857). Bahkan
dari Sultan Adam, Belanda mendapat hak untuk menentukan putra mahkota.
Hak Belanda ini digunakan untuk mengangkat Pangeran
Tamjidillah menjadi sultan pada tahun 1857. Hak Pangeran Hidayat menjadi sultan
disisihkan, padahal sebenarnya yang berhak adalah Pangeran Hidayat sendiri.
Kendatipun Pangeran Hidayat tidak menjadi sultan kerajaan
Banjar, tetapi ia telah mempunyai kedudukan sebagai Mangkubumi. Pengaruhnya
cukup besar di kalangan rakyatnya. Campur tangan Belanda di kraton makin besar
dan kedudukan Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi semakin terdesak. Oleh karena
itu, ia memutuskan untuk mengadakan perlawanan bersama sepupunya Pangeran
Antasari.
Pangeran Antasari seorang pemimpin perlawanan yang amat
anti Belanda. Ia bersama pengikutnya, Kiai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji
Buyasin, dan Haji Langlang berhasil menghimpun kekuatan sebanyak 3000 orang. Ia
bersama pasukannya menyerang pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron pada
tangagl 28 April 1859. Pertempuran hebat terjadi di salah pusat kekuatan
Pangeran Antasari, yaitu benteng Gunung Lawak. Belanda berhasil menduduki
benteng Gunung Lawak (27 September 1859).
Niat Belanda yang sebenarnya adalah menghapuskan kerajaan
Banjar. Hal itu baru terlaksana setelah Kolonel Andresen dapat menurunkan
Sultan Tamjidillah, yang dianggapnya sebagai penyebab kericuhan, sedangkan
Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi telah meninggalkan kraton. Belanda
menghapuskan kerajaan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860 dan dimasukkan ke dalam
kekuasaan Belanda.
Pangeran Hidayat terlibat dalam pertempuran yang hebat
melawan Belanda pada tanggal 16 Juni 1860 di Anbawang. Adanya ketidakseimbangan
dalam persenjataan dan pasukan yang kurang terlatih, menyebabkan Pangeran
Hidayat harus mengundurkan diri. Belanda menggunakan siasat memberikan
kedudukan dan jaminan hidup kepada setiap orang yang bersedia menghentikan
perlawanan dengan menyerahkan diri kepada Belanda. Ternyata siasat ini
berhasil, yaitu dengan menyerahnya Kiai Demang Leman pada tanggal 2 Oktober
1861. Penyerahan Kiai Demang Leman mempengaruhi kekuatan pasukan Pangeran
Antasari. Beberapa bulan kemudian Pangeran Hidayat dapat ditangkap, akhirnya
diasingkan ke Jawa pada tanggal 3 Februari 1862. Rakyat Banjar memberikan
kepercayaan sepenuhnya kepada Pangeran Antasari dengan mengangkatnya sebagai
pemimpin tertinggi agama dengan gelar Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin
pada tanggal 14 Maret 1862. Perlawanan diteruskan bersama-sama pemimpin yang
lain, seperti Pangeran Miradipa, Tumenggung Mancanegara, Tumenggung Surapati,
dan Gusti Umar. Pertahanan pasukan pangeran Antasari ditempatkan di Hulu Teweh.
Di sinilah Pangeran Antasari meninggal dunia pada tanggal 11 Oktober 1862.
Perlawanan rakyat Banjar terus berlangsung dipimpin oleh putra Pangeran
Antasari, Pangeran Muhamad Seman, bersama pejuang-pejuang Banjar lainnya.
0 komentar:
Post a Comment