Kekuasaan Hindia
Belanda
1. Konvensi London 1814
a. Latar Belakang Politiknya
Seperti disebutkan di atas, pusat politik dunia abad XIX,
ialah Eropa. Apa yang terjadi di Eropa, gemanya selalu pula kedengaran di Asia.
Jadi situasi yang terjadi di Asia adalah sayap belaka dari kejadian di Eropa.
Nasib tanah-tanah jajahan di Asia, seperti Indonesia, hanya menjadi barang
permainan belaka di atas meja perundingan negara-negara induk (penjajah) itu di
Eropa.
Kekalahan Napoleon di Eropa (1813) membawa pula perubahan
politik di antara Inggris dengan Belanda. Inggris, bagaimanapun juga tetap
ragu-ragu terhadap Perancis, karena itu ia ingin mempunyai sekutu yang agak
kuat di Eropa daratan yang dapat merupakan tembok pemisah antara Inggris dengan
Perancis. Belanda memenuhi syarat untuk itu, tetapi Belanda yang tanpa tanah
jajahan adalah Belanda yang lemah. Dengan demikian tembok pemisah itu mudah
hancur. Karena itu, Indonesia harus dikembalikan kepada Belanda. Secara
ekonomis, menurut politisi Inggris, memiliki Indonesia tidak ada untungnya
sebab tidak sepadan dengan biayanya. Secara politis, untuk Inggris justru
sangat diuntungkan, sebab Belanda akan dapat dijadikan sekutu untuk
bersama-sama dalam menghadapi ancaman Perancis.
b. Isi
Konvensi London
Isi pokok Konvensi London (Convention of London), ialah:
1) Indonesia dikembalikan kepada
Belanda;
2) Jajahan-jahanan Belanda seperti Sailan, Kaap Koloni, Guyana, tetap dikuasai Inggris; dan
3) Cochin
di pantai Malabar diambil alih oleh Inggris, tetapi Bangka
diserahkan kepada Belanda.
2. Komisaris
Jenderal
Pihak
Belanda yang mengadakan timbang terima tanah jajahan ini ialah Komisaris
Jenderal yang terdiri atas Mr. E. Th. Eliout, sebagai ketua G.P. Vander
Capellen, sebagai anggota yang nantinya akan menjabat Gubernur Jenderal dan
A.A. Buyskes sebagai anggota yang nantinya khusus mengadakan
perubahan-perubahan dalam angkutan laut di sini.
Para Komisaris Jenderal ini datang ke Indonesia, diikuti oleh sejumlah
besar para pegawai dan ribuan tentara, yang nantinya akan melaksanakan sistem
pemerintahan baru. Pemerintahan baru ini resmi mulai berjalan sejak tahun 1816,
setelah Inggris menyerahkan kekuasaan itu kepada Belanda. Penyerahan itu berupa
suatu maklumat tanggal 19-8-1816, yang di dalamnya berisi keterangan bahwa Commissarissen General menerima
penyerahan kekuasaan daerah Indonesia.
Juga
disebutkan bahwa Commissarissen General
diberikan kekuasaan atas nama raja Belanda untuk melakukan kekuasaan tertinggi,
serta mengatur dan menjalankan pemerintahan. Menurut maklumat ini untuk
sementara waktu semua peraturan-peraturan pemerintah pusat di negeri Belanda
berlaku di Indonesia.
Nanti kalau sudah diadakan penyelidikan oleh Komisaris Jenderal itu, barulah
akan diadakan perubahan yang dianggap perlu. Pemerintah yang baru ini bernama
pemerintah Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda (1816-1942).
3. Kesulitan-kesulitan
Belanda di Luar Pulau Jawa
Pemerintahan
yang baru ini mengalami kesulitan-kesulitan pada tingkat permulaannya untuk
mengembalikan kekuasaannya itu di luar pulau Jawa, terutama seperti Maluku dan Palembang.
a. Maluku (1817)
Kedatangan Belanda ke Maluku, menimbulkan rasa curiga dan
kebencian rakyat terhadapnya. Kebetulan pula senjata-senjata Inggris secara
diam-diam diberikan kepada rakyat di Saparua, sebelum meninggalkan Maluku
(maksudnya sudah tentu untuk menyulitkan Belanda nantinya). Ternyata Belanda
yang baru kembali ini, menjalankan praktik-praktik Belanda gaya lama dengan
segala monopolinya. Yang diserahi tugas untuk melaksanakan ini ialah residen
Johannes Rudolph Van den Berg.
Kemudian, terjadilah perlawanan bersenjata di Saparua,
yang meluas ke pulau-pulau lainnya seperti Ambon dan Seram Selatan. Yang
memimpin perlawanan ini ialah Thomas Matullessy, yang dulu pernah menjadi
tentara Inggris. Oleh penduduk disebut Kapitan Pattimura. Benteng Duurstede di Saparua diserbu oleh rakyat
dan seluruh penghuninya mati terbunuh.
Perlawanan ini kemudian dapat ditundukkan oleh Buyskes,
dengan tipu muslihat yang licin. Pattimura masuk perangkap dan dibakar
hidup-hidup, suatu taktik untuk menimbulkan ketakutan kepada orang-orang
lainnya.
Pengalaman mahal ini menyebabkan kemudian sistem monopoli
dan pelayaran hongi itu dihapuskan oleh Belanda. Sebelum perlawanan Pattimura
ini, pernah pula ada perlawanan terhadap Belanda pada akhir abad XVIII. Pada
akhir abad XVIII timbullah perlawanan rakyat di Maluku Utara, yaitu di Tidore
dan Ternate. Bertepatan juga pada waktu itu, Inggris memerangi Belanda yang
kedudukan di luar pulau Jawa termasuk Maluku. Pertahanan Belanda yang masih
agak kuat di daerah itu, di samping Ambon dan Saparua, juga Ternate.
Tidaklah mengherankan di dalam situasi yang semacam itu,
Inggris ikut juga membantu
perlawanan-perlawanan rakyat yang bertujuan menumbang-kan kekuasaan VOC
(Belanda), yang juga menjadi musuhnya di waktu itu.
Pemimpin rakyat yang mengadakan perlawanan itu ialah
Nuku, seorang keturunan Sultan Tidore, yang telah kehilangan kedudukannya sejak
leluhurnya disingkirkan oleh Belanda. Setelah Nuku dengan pengikutnya berjuang
dalam waktu yang lama, maka pada tahun 1797, berhasillah didudukinya Tidore.
Sebelumnya Belanda telah bersusah payah mencoba menangkap Nuku dengan segala
macam cara, tetapi tidak berhasil.
Setelah Tidore berhasil dikuasainya, maka bersiap-siaplah
Nuku merebut Ternate. Pada tahun 1801, Ternate dapat direbutnya dengan
melak-sanakan siasat pertempuran yang sangat jitu. Demikianlah kekuasaan
Belanda runtuh di daerah Maluku bagian utara itu.
Walaupun Nuku mendapat bantuan dari Inggris, tidaklah
berarti bahwa tokoh ini tunduk kepada kekuasaan asing yang lain itu. Bantuan
asing dipergunakannya, justru untuk keuntungan dan kepentingannya sendiri,
tanpa mengadakan ikatan politik dengan kekuasaan tersebut. Hanya kebutulan
Inggris dengan Belanda sedang bermusuhan pada waktu itu.
Nuku tidak lama merasakan kemenangannya, sebab pada tahun
1805, ia pun meninggal. Tokoh ini sangat dihormati oleh rakyatnya. Karena itu
ia diberi sebutan Kacili (Pangeran)
paparangan, atau juga orang yang diberkati oleh Allah (Djou Barakati). Setelah Inggris betul-betul berkuasa di Indonesia
(1811-1816), maka peraturan Belanda seperti memonopoli rempah-rempah, pelayaran
hongi dan sebagainya, yang sangat dirasakan setelah Pattimura mengadakan
perlawanan yang sangat sengit di Maluku.
b. Palembang (1819)
Poros Indonesia dalam lapangan perekonomian pada zaman
itu dan waktu-waktu sebelumnya adalah Palembang (merica), Jawa (beras), Maluku
(cengkih, pala). Poros ini selalu mendapatkan perhatian dan karena itu
kekuasaan-kekuasaan asing tetap mempertahankan Palembang dan Maluku di samping
Jawa sebagai faktor yang pokok.
Penanaman kekuasaan pemerintahan yang baru ini di
Palembang, mengalami kesulitan. Di samping kesulitan ini datang dari Palembang
sendiri juga dari Raffles, yang berpusat di Bengkulu.
Orang ini selalu merupakan troublemaker bagi kembalinya kekuasaan Belanda yang baru di
Indonesia. Sebelum Belanda secara nyata menancapkan kekuasaannya di Palembang,
maka Palembang (Sultan Nadjamuddin) telah mengadakan persetujuan dan kontrak
ekonomi (sebetulnya kontrak politik dengan Raffles). Kedatangan Belanda di
Palembang disambut dengan sikap permusuhan di sana. Kemudian Sultan Nadjamuddin
ditangkap dan dibuang ke Cianjur, sebab dianggap sebagai unsur pro Inggris dan
justru politik Belanda pada waktu harus melawan dan melenyapkan pengaruh
Inggris dari Indonesia. Para politisi Inggris di London dan India menganggap
Belanda sangat agresif sifatnya.
Sultan Badaruddin kemudian diangkat kembali (1818),
Sultan ini anti kekuasaan asing (ternyata dari riwayat hidup politiknya), dan
karena itu dengan segera ia mempersiapkan perlawanan. Ekspedisi Belanda pada
tahun 1819 untuk menundukkan Palembang gagal, dan baru berhasil pada waktu
ekspedisinya yang kedua (1821) di bawah pimpinan de Kock. Sultan Badaruddin
kemudian dibuang ke Ternate. Jadi politik Raflles untuk mengacaukan Palembang
tidak berhasil.
4. Thomas Stanford Raffles dan Singapura
Inggris dan Belanda kemudian berlomba-lomba menanamkan
pengaruh-nya di Selat Malaka, yang merupakan tempat strategis dan kunci lalu
lintas Asia Tenggara. Belanda yang sudah secara resmi dan meyakinkan menurut
Konvensi London memiliki kembali Indonesia, adalah wajar bila Selat Malaka ini
harus ada di bawah pengawasannya.
Pada tahun 1818, Malaka jatuh
kembali ke tangan Belanda. Hal ini sangat menguntungkan Belanda. Raffles
seorang Inggris yang anti kepada Belanda, ternyata mempunyai akal yang lebih
cerdik dengan mendirikan Singapura pada tahun 1819 di semenanjung Malaka.
Kejadian ini mengejutkan dan
mengguncang politisi Belanda, sebab tidak diduga sebelumnya. Pendirian
Singapura adalah jasa Raffles yang monumental bagi Inggris di Asia Tenggara,
sehingga Vlekke di dalam bukunya Nusantara,
menyatakan bahwa arti Raffles yang penting dalam sejarah ialah sebagai The Founder of Singapura. Adanya dua
kekuasaan di Selat Malaka yang saling bersaing, menimbulkan keretakan di antara
Belanda dengan Inggris yang justru di Eropa mereka adalah sekutu yang akrab.
Raffles mendapatkan Singapura dengan jalan membeli dari
Tengku Husein, Sultan Johor, beserta penduduk pulau itu 150 orang, yang
kebanyakan terdiri atas para nelayan. Penjualan Singapura itu adalah sebagai
balas jasa atas kebaikan orang ini (Raffles), sebab naiknya Tengku Husein
menjadi Sultan Johor itu adalah atas bantuan dan pengakuannya. Peristiwa
dikuasainya Singapura ini, menimbulkan protes dari Belanda kepada Inggris.
Mula-mula para politisi Inggris di London, tidak menyetujui sepak terjang Raffles
tersebut, tetapi setelah ditimbang lebih jauh, mereka secara diam-diam
menyokongnya. Ternyata Raffles mempunyai pandangan yang lebih tajam untuk
masalah di Asia Tenggara daripada para politisi di London itu.
Di dalam persoalan ini Belanda menuduh bahwa Inggris
melanggar Konvensi London (1814). Menurut anggapan Belanda, maka dari Malaka ke
selatan adalah daerah yang dikembalikan kepada Belanda, jadi termasuk juga
Singapura. Karena memang Inggris sekarang ini benar-benar memiliki Singapura,
maka ia mencari kelemahan-kelemahan celah yang terdapat dalam Konvensi London
itu, dengan interpretasinya yang menguntungkan dirinya sendiri. Inggris
membantah tuduhan Belanda itu dengan alasan, bahwa yang harus dikembalikan oleh
Inggris kepada Belanda ialah daerah-daerah
yang direbut oleh Inggris dari Belanda.
Karena yang dikembalikan itu hanya daerah-daerah yang
direbut oleh Inggris itu saja. Maka ini berarti bahwa Inggris bebas mengadakan
perjanjian dengan raja-raja dari daerah-daerah yang tidak direbutnya itu. Singapura
adalah daerah yang tidak direbut oleh Inggris dulu dari tangan Belanda. Hal ini
berarti tidak termasuk dalam kategori Konvensi London dan karena itu tidak
diserahkan kepada Belanda. Karena ketentuan yang pasti tentang penyerahan
daerah ini tidak ada dalam Konvensi, maka Inggris berhak mengadakan perjanjian
dengan raja yang menguasai daerah itu. Karena khawatir akan tindakan-tindakan
Inggris selanjutnya dengan pengalaman yang pahit atas Singapura ini, maka
mulailah Belanda memperluas daerahnya ke utara terutama Kalimantan dan
Sumatera.
5. Traktat London (1824)
Perselisihan tentang batas-batas daerah kekuasaan,
disebabkan oleh pendirian Singapura itu, kemudian diadakan penyelesaian dengan
suatu Traktat, dikenal dengan nama Treaty
of London (1824). Di dalam traktat
ini disebutkan antara lain:
a. Kedua
negeri (baik Belanda maupun Inggris) berhak memasuki jajahannya masing-masing.
b. Belanda
menarik diri dari jajahannya di Asia (Malaka dan Singapura).
c. Inggris
menarik diri dari Indonesia dan menyerahkan Bengkulu kepada Belanda.
d. Kedaulatan
Aceh oleh kedu belah pihak
Arti dari Traktak
London
Traktak ini merupakan kekalahan politik yang besar bagi
Belanda. Hal ini tidak mengherankan karena memang dikembalikannya Indonesia
kepada Belanda oleh Inggris adalah karena goodwill
Albion itu. Sudah tentu tuntutan Inggris itu sukar ditolak oleh Belanda.
Contohnya dalam traktat ini disebutkan bahwa kedua negeri
berhak memasuki jajahannya masing-masing. Keunggulan armada ada di tangan
Inggris, dan sudah pasti Inggrislah yang akan lebih sering beroperasi di dunia
perdagangan jajahan Belanda. Walaupun demikian, kemungkinan keuntungan yang
didapat oleh Inggris dalam hal ini, tidak akan dibiarkan saja oleh Belanda.
Untuk inilah kemudian Belanda membentuk NHM (Nederlandch Handels Maatschapij) yang hidupnya mula-mula tidak
mendapat keuntungan, tetapi sejak adanya tanam paksa (cultuurstelsel), mendapat keuntungan besar.
Contoh lain lagi yang menarik isi traktat ini ialah yang
menyebut tentang dihormatinya oleh kedua belah pihak kemerdekaan Aceh. Hal ini
tidak berarti bahwa kekuasaan asing itu memang benar-benar cinta kepada
kemerdekaan Aceh. Ketentuan yang manis kedengarannya ini adalah semata-mata
hasil dari perhitungan politik Inggris belaka. Bukankah pada waktu traktat ini
ditandatangani, Singapura baru berumur 5 tahun. Jadi pertumbuhannya masih
lemah! Justru karena itulah harus dilindungi dari kemungkinan adanya saingan
lain, yang mungkin timbul di sekitar Selat Malaka. Karena itu Aceh harus
merdeka, untuk menghindarkan Belanda mempergunakan tempat itu untuk menyaingi
Singapura.
Kebijaksanaan politik ini kemudian ternyata benar, sebab
Singapura makin tumbuh dengan pesat tanpa ada saingan dari sekitar Selat Malaka
itu. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan bebas, tanpa cukai untuk menarik
orang-orang asing terutama orang-orang Cina. Orang-orang Cina diusahakan oleh
Raffles agar berduyun-duyun masuk ke Singapura, sebab umumnya mereka rajin
berusaha dan dengan demikian memungkinkan Singapura dalam waktu yang singkat
menjadi ramai.
Batavia yang merupakan pelabuhan yang ramai, kemudian
diimbangi oleh Singapura. Selanjutnya Batavia yang telah mendominasi
perekonomian Asia Tenggara lama kelamaan digeser oleh Singapura. Setelah
Singaura tumbuh dengan pesat dan tidak mungkin disaingi oleh siapa pun juga,
barulah kemerdekaan Aceh secara juridis dikorbankan oleh Inggris kepada
Belanda. Pengorbanan Inggris ini pun dibayar oleh Belanda dengan membuka
Indonesia bagi modal-modal asing, termasuk Inggris yang juga sedang kelaparan
mencari mangsa. Traktat London (1824) yang merupakan penghalang dihapuskannya
dengan bergerak ke Sumatera bagian Utara, kemudian dihapuskannya dengan adanya Traktat Sumatera (1817). Perubahan
juridis semacam ini adanya refleksi dari kepentingan ekonomi Inggris yang makin
kuat di daerah Asia Tenggara.
6. Pertumbuhan Nederlandsch Indie
Pimpinan kekuasaan Nederlandsch India atau Hindia Belanda
ini, mula-mula dipegang oleh pimpinan pemerintahan yang kolektif yang
berpangkat Komisaris Jenderal. Tugasnya ialah melakukan pengalihan kekuasaan
dari Inggris ke Belanda. Peralihan itu berlangsung dari tahun 1816-1819, dan
pada tahun 1819 mulailah kepala pemerintahan dipegang oleh seorang Gubernur
Jenderal Van der Capellen (1816-1826).
Garis pemerintahan yang baru ini pada dasarnya adalah
liberalistis, dalam arti lebih liberal daripada pemerintahan jenis VOC lama.
Pemerintahan ini di dalam mengatur tanah jajahan sesuai dengan alam baru yang
sedang berkembang di Eropa. Di sini dipergunakanlah aturan-aturan yang sesuai
dengan alam pikiran Eropa Kontinen, khusus Belanda, dan menghilangkan
pemerintahan yang bersifat Inggris. Contohnya sistem jury dalam lapangan
pengadilan dihapuskan, tetapi sistem
pembagian residen peninggalan Raffles dilanjutkannya.
Persoalan-persoalan politik ketatanegaraan yang terjadi
di Eropa juga membawa pengaruh politik ketatanegaraan di Hindia Belanda
(Indonesia). Revolusi di Perancis (1848) yang bersifat borjuis itu yang juga
besar sekali pengaruhnya di negeri Belanda, membawa pengaruh pula terhadap
sikap Belanda terhadap pemerintahan di sini.
Pada tahun 1854, dikeluarkan suatu peraturan yang berisi
tentang soal-soal pemerintahan di Indonesia. Timbulnya R.R. 1854, mempunyai
latar belakang sebagai berikut. Pada masa sekitar tahun 1800-1854,
peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia seluruhnya dikeluarkan oleh raja
Belanda dengan nama Koninklijk Besluit.
Yang melaksanakannya ialah wakil raja di sini, yaitu Gubernur Jenderal.
Akibat dari revolusi Februari 1848 di Perancis itu,
kemudian timbullah di negeri Belanda suatu perubahan ketatanegaraan. Monarki
konstitusional Belanda kemudian mendapatkan azas parlementer, dengan demikian parlemen di sana menjadi lebih kuat
kedudukannya. Hal ini membawa akibat pula terhadap pemerintahan jajahannya di
Indonesia.
Di dalam UUD negeri Belanda tahun 1848 (Gronwet 1848),
menyebutkan pula tentang dasar-dasar pemerintahan jajahan di Indonesia yang
harus diatur dengan UU (wet). karena
di sini diperlukan UU (wet), maka
parlemen (DPR) di sana turut ikut menentukannya. Dengan demikian dikurangilah
kekuasaan raja di dalam mengeluarkan peraturan-peraturan untuk tanah jajahannya
(Indonesia), walaupun raja masih ada hak mengeluarkan peraturannya itu.
Undang-Undang (wet)
yang mengatur tata pemerintahan di Indonesia itu di sebut Reflement op het der Regering in Nederlandch-Indie yang biasanya
disingkat RR yang dikeluarkan pada tahun 1854 (RR 1854) tersebut. Demikianlah
masa Koninklijk Besluit diganti oleh
RR sejak tahun 1854 di dalam politik perundang-undangan. Hal ini sedikit banyak
membawa pula perubahan tata pemerintahan koloni di Indonesia. Demikianlah RR
itu kemudian diganti dengan Wet op de
Staatsinrichting van Nederlandch India yang biasanya disingkat menjadi IS
(IS 1926).
Seperti disebutkan di atas, sejak tahun 1854, garis besar
kebijaksanaan pemerintahan itu secara juridis Gubernur Jenderal itu terikat
dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan itu. Pada tahun 1867, anggaran
keuangan untuk Indonesia mulai ditetapkan dengan Undang-Undang (UU). Hal ini
berarti bahwa parlemen (DPR) negeri Belanda dapat secara langsung mengawasi
anggaran belanja untuk jajahan ini. Sebelumnya, anggaran itu hanya ditentukan
oleh raja. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran kekuatan di antara raja dengan
kaum liberal yang dapat menguasai Parlemen, yang juga menginginkan tanah
jajahan ini untuk usahanya yang sedang menanjak.
Erat dengan perkembangan liberalisme dalam bidang
politik, maka sejak sekitar tahun 1860, dilaranglah dengan resmi perbudakan di
Indonesia. Sepintas lalu kelihatannya betapa terbelakangnya sikap Belanda itu
dibandingkan dengan Raffles. Hal ini tidaklah penting artinya bagi Indonesia,
bila dibandingkan dengan Afrika, di mana dalam jangka waktu yang lama
berlangsung perdagangan budak dan perbudakan itu. Pada tahun 1970, keluarlah
Undang-Undang Pokok Agraria Kolonial, yang berisi tentang kebijakan pemerintah
Belanda tentang status milik penduduk pribumi Indonesia dan pula status
penggunaan tanah ini oleh orang-orang partikelir. Yang dimaksud dengan
orang-orang partikelir ialah para pemilik modal asing. Atas dasar ini maka
tertanamlah modal-modal kapitalis itu di beberapa bidang usaha, seperti
perkebunan, pertambangan, pengangkutan, dan sebagainya.
Selanjutnya pada awal abad XX, yaitu pada tahun 1903,
keluarlah undang-undang desentralisasi. Kemudian Batavia dan Bogor dibentuk
sebagai haminte (1905). Pada tahun
1922, dikeluarkan lagi undang-undang yang berisi tentang desentralisasi, yang
akibatnya kemudian terbentuklah pada tahun 1926 provinsi Jawa Barat dengan 18
kabupaten; tahun 1929 provinsi Jawa Timur dengan 32 kabupaten; dan tahun 1930
provinsi Jawa Tengah dengan 26 kabupaten.
Perubahan lainnya ialah tahun 1916 diadakan Undang-Undang
tentang pembentukan Volksraad (Dewan
Rakyat) sebagai pseudo-demokrasi hadiah pemerintahan kolonial kepada rakyat
jajahan. Pada garis besarnya demikianlah hal-hal yang erat hubungannya dengan
perkembangan pemerintah Hindia Belanda itu, sampai runtuh pada tahun 1942
(Dekker, 1993).
0 komentar:
Post a Comment