Teater Tradisional Di Asia
Teater
bermula dari upacara keagamaan yang tujuannya untuk kesuburan tanaman dan
keselamatan masyarakat dalam perburuan. Kemudian pada perkembangannya, menjadi
pertunjukan yang dipertontonkan kepada khalayak, ketika adegan perburuan itu
diperagakan oleh kelompok masyarakat pendukungnya. Pada perkembangan
selanjutnya, teater menjadi sarana pengajaran dan hiburan yang mengusung
nilai-nilai moral, sosial, ekonomi, politik, dll. Demikian pula perkembangannya
pada teater tradisional di Asia dan di Nusantara. Lakon-lakon yang kita
saksikan melalui “Oedipus Sang Raja”, “Mahabharata”, Ramayana, “Romeo &
Juliet”,
“Lutung Kasarung”, “Malin Kundang”, dll. Semua menceritakan nilai baik-buruk,
dimana masyarakat yang menontonnya bisa bercermin.
1. Teater Tradisional Cina
Salah
satu teater tradisional China adalah Opera
Peking. Yang menggabungkan musik,
tarian,
nyanyian, pantomim dan akrobat. Tontonan ini muncul pada akhir abad ke-18 dan
mulai popular pada pertengahan abad ke- 19. Tata rias dan tata busananya penuh
warnadan sangat rumit. Gerakan-gerakan
pelakunya cenderung simbolik dan sugestif.
Lakon
Opera Peking berasal dari sejarah China, legenda, cerita Rakyat, dan
cerita-cerita
kekinian.
Dalam perjalanannya, Opera Peking, terus mengalami perubahan hingga pada bentuknya yang
sekarang. Opera Peking adalah perpaduan dari banyak bentuk kesenian di China.
Sebagaimana teater tradisional di Indonesia, Opera
Peking pada awalnya hanya dimainkan oleh
laki-laki. Perempuan baru diperkenankan main di Shanghai, tahun 1894. Opera Peking juga
berkembang di Taiwan.
2. Teater Tadisional Jepang
Salah
satu bentuk teater tradisional Jepang adalah Kabuki. Sebagaimana teater tradisional China, tata rias dan tata
busana Kabuki juga
sangat rumit. Bentuk tontonannya campuran dari musik, tarian, dan nyanyian. Kabuki berasal dari tiga suku kata, Ka (menyanyi), bu (menari), dan ki (ketrampilan). Kabuki sering diartikan sebagai seni menyanyi
dan menari. Kabuki sebagai
teater tradisional telah diturunkan dari generasi ke generasi oleh masyarakat
pendukungnya. Dalam
sejarahnya,
Kabuki tidak
banyak mengalami perubahan.
Berbeda
dengan teater Barat, di mana pelaku dan penonton dibatasi oleh lengkung
proskenium; - dalam tontonan Kabuki pelaku dan penonton tidak berjarak. Panggung Kabuki menjorok ke arah
penonton.
3. Teater Tradisional India
Kalau
di zaman Yunani kuno, Aristoteles (384 SM – 322 SM), menulis “Poetic”, risalah yang mengulas tentang puisi,
tragedi, komedi, dll. Maka di India (1500 SM – 1000 SM), ada tokoh yang setara,
Bharata Muni, yang menulis “Natya shastra, risalah yang ditujukan kepada
penulis naskah, sutradara dan aktor. Risalah tersebut melukiskan tentang
akting, tari, musik, struktur dramatik, arsitektur, tata busana, tata rias,
properti, manajemen produksi, dll.
Teater
tradisional India bermula dari bentuk narasi yang diekspresikan dalam nyanyian
dan tarian. Sehingga pada perkembangannya gerak laku pada teater tradisional
India, didominasi oleh nyanyian dan tarian, yang merupakan suatu kesatuan yang
saling melengkapi. Sementera, alur cerita dan struktur lakon mengikuti alur dan
struktur dari Mahabharata dan Ramayana, dengan tema cinta dan kepahlawanan.
0 komentar:
Post a Comment